EVERNA Bittersweet Symphony

Andry Chang
Chapter #81

2nd Verse LENTO

Tak ada gunanya berteduh di bawah pohon yang hangus.

Walaupun Anne mulai betah di “tempat pelarian” bernama Hutan Tranvia, mau tak mau kini ia harus pergi. Alasannya jelas, setelah terpapar para musafir kegelapan Ordo Gregorian, hutan gaib nan keramat tersebut sudah tidak aman lagi.

Anne bisa saja mencari tempat persembunyian lagi. Namun, berkat dari Physallis dan dukungan teman-temannya yang telah bersatu hati membuat Anne sendiri membulatkan tekad untuk tak bersembunyi lagi.

Kata-kata perpisahan Physallis terus terngiang dalam benak Anne, seolah-olah sang unicorn sendiri yang hadir di sampingnya.Sekaranglah waktunya untuk kembali ke tempat asal. Kembali pulang dan menghadapi segala konflik yang terjadi.

Jadi, kalaupun Anne harus kembali ke istana, sekarang ia tak hanya bertiga dengan Arcel dan Chloe untuk menghadapi badai ancaman terhadap nyawanya. Sekarang ada pula Emily si penyihir, Stephen si ahli senjata dan Horatio si penembak jitu turut berjuang bersama dengannya.

Sinergi keenam insan muda bagai kepala, badan, tangan dan kaki yang menyatu sempurna terbukti berhasil mengatasi pasukan musuh yang di atas kertas jauh lebih kuat daripada mereka.

Tetap saja, kerusakan, kerugian dan kehilangan nyawa yang amat besar dan banyak telah terjadi.

Sebagian besar kereta dan warga gipsi yang terdiri dari para wanita dan anak-anak, termasuk para pejuang yang masih hidup telah mengungsi tak jauh dari mulut Hutan Tranvia sebelah selatan, yaitu Pantai Ingram. Namun selama Putri Anne masih bersama mereka, Ordo Gregorian yang mendendam pasti akan melacak, menemukan dan menggempur para gipsi lagi.

Bila itu sampai terjadi, pemusnahan total takkan terhindarkan.

“Karena itulah, seturut dengan keputusan bulat dari para tetua, dengan ini saya memohon agar Tuan Putri Anne meninggalkan perkemahan gipsi,” kata Janet Pedrosa, si pemimpin rombongan. “Kami telah menunaikan bakti kami pada Enia dengan berjuang, bertempur dan bahkan berkorban nyawa untuk Anda. Sayangnya, kekuatan kami telah terkuras melebihi ambang batas. Bila kami terus menjadi pelindung Tuan Putri, kami sudah seperti rumah setengah roboh. Bila digempur lagi, kami pasti roboh seluruhnya, menimpa semua yang seharusnya kami lindungi. Mohon pahami dan kabulkanlah permohonan kami ini.”

Janet mengatakan itu di depan sebagian besar warga gipsi yang berkumpul di depan api unggun, di perkemahan darurat di Ingram.

Tak perlu lagi menoleh untuk minta pendapat teman-temannya, Anne langsung menjawab, “Apa boleh buat. Walau separuh jiwaku sudah terbuai oleh kedamaian di hutan ini dan dari cara hidup kaum gipsi, separuhnya lagi mengingatkanku pada kenyataan.

Aku kini sedang berperang dan aku telah melibatkan kalian ke dalamnya, membawa kematian dan penghancuran pada kaum yang mulai kusayangi ini. Maka, dengan berat hati aku akan segera meninggalkan kalian. Bagi kalian yang telah kehilangan orang-orang terkasih, mohon maafkanlah diriku yang tak tahu apa-apa dan tak berdaya ini. Yang pasti, aku takkan pernah melupakan kalian semua seumur hidupku.”

Anne dan teman-temannya menunduk hampir serempak di hadapan Janet dan kaum gipsi yang ia pimpin. Air mata menitik di mata tiap orang. Bahkan beberapa orang anak gipsi kecil yang ikut mendengarkan Anne menangis sambil menyerukan “ayah”, “ibu”, “kakak” dan lain sebagainya.

Kendatipun terucap hanya dalam hati, Anne mengutarakan isi hatinya, Aku telah bersumpah dan kuucapkan ini sekali lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan pengorbanan kalian, para saudara sejatiku.

 

==oOo==

 

Malam terakhir kebersamaan Putri Anne dengan kaum gipsi tidak diisi dengan jamuan makanan, musik dan tari-tarian.

Sebaliknya, semua insan berkumpul di tepi Pantai Ingram, menatap cakrawala lembayung dengan wajah-wajah muram.

Para gipsi telah mengungsi dengan menyusuri sungai. Mereka mendirikan perkemahan darurat dekat muara Pantai Ingram. dan Anne dan teman-temannya telah bergabung bersama mereka.

Para gipsi telah bekerja secepat mungkin agar kesucian Hutan Tranvia tetap terjaga. Mereka menaruh semua jenazah pejuang yang gugur di atas rakit-rakit kayu, lalu melarungnya di atas air, membiarkan arus sungai membawanya ke muara.

Lihat selengkapnya