Bagaimanakah perasaan seseorang bilamana ada tamu yang sempat tinggal di rumahnya. Namun keberadaan si tamu ternyata membuat bahaya datang, mengakibatkan kerusakan dan jatuhnya korban. Lantas si tamu selamat dan hendak pergi begitu saja?
Perasaan Janet Pedrosa sempat campur-aduk saat membantu Anne bersiap-siap untuk berangkat ke Alceste. Di satu sisi, egonya sebagai pemimpin kaum merasa lega karena si sumber bencana akan pergi. Itu berarti kaum gipsi yang sudah separuh rusak itu akan terhindarkan dari penghancuran total.
Namun, sisi kepribadian Janet yang lain, yaitu pengusaha dan pedagang merasa bodoh membiarkan Anne pergi. Pasalnya, Anne kini berutang terlalu banyak pada kaum gipsi. Utang kerugian dan nyawa itu tak akan terbayar dengan pengabdian seumur hidup pada kaum gipsi atau apa pun.
Setidaknya harus ada kompensasi berupa sokongan dari pihak Kerajaan terhadap keluarga para gipsi yang gugur, atau bantuan keuangan yang terus-menerus untuk setidaknya “mencicil” utang Putri Anne tersebut.
Jadi, wajar saja Janet pasang tampang dan sikap dingin setiap kali bertemu Putri Anne, tak terkecuali saat perpisahan seperti ini.
“Ada apa, Janet?” tanya Anne yang mendelik melihat perubahan sikap drastis Janet di waktu yang kurang tepat. “Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?”
Janet jadi gelagapan. “Ah, ya, eh, tidak. Aku hanya tak habis pikir, keberadaan Tuan Putri di sini tak lebih dari seumur jagung, namun telah banyak membuat letupan seperti berondong jagung.”
Anne sempat terkejut. Ia tak yakin apakah berondong jagung atau popcorn sudah diciptakan dan menjadi makanan populer di masa belum ada film dan gedung bioskop. Tapi bisa jadi pencipta popcorn adalah kaum gipsi.
“Yah, aku sama sekali tak menyangka pertemuan kita harus berlangsung sesingkat ini,” kata Anne. “Tapi aku punya utang maha besar pada kalian kaum gipsi, yang takkan terbayarkan walau harus menguras seluruh harta Keluarga Raja.”
“Ah, tak usah berlebihan, Tuan Putri...” potong Janet.
Namun Anne menggeleng. “Aku telah bersumpah di hadapan kalian bahwa aku akan membantu melestarikan cara hidup kaum gipsi dengan segala daya, upaya dan kekuasaan yang mungkin akan kumiliki kelak.”
Gadis berambut pirang itu lantas mengeluarkan medali tanda pengenal Keluarga Raja Lore dari tasnya dan menyerahkannya pada Janet. Sambil ia berkata, “Simpanlah medali ini baik-baik, Janet Pedrosa. Bilamana kelak aku menjadi Ratu dan kau ingin mengajukan petisi demi kepentingan kaum gipsi pada Kerajaan, tunjukkanlah medali tanda pengenal Keluarga Raja ini. Niscaya pihak-pihak yang berkepentingan akan menghubungi diriku dan aku akan secara pribadi turun tangan membantumu.”
“Terima kasih, Tuan Putri,” tanggap Janet sambil tersenyum tulus dan mendekap medali Anne erat-erat, seakan-akan itu adalah hartanya yang paling berharga. “Hamba yang kurang sopan-santun ini akan menjaga lencana ini dengan nyawa hamba sendiri.” Air mata Janet mulai berlinang.
Dengan air mata berlinang pula Anne menyentuhkan kedua tangannya pada pundak Janet seraya berkata, “Tak usah pedulikan tata krama lagi, Janet. Kita adalah sahabat seperjuangan, dan tak akan ada siapa pun yang akan merenggut itu dari kita.”
Segala rasa membuncah, tak tertahankan lagi. Kedua gadis itu saling berpelukan dalam isak tangis, tak peduli lagi pada siapa pun yang menyaksikan mereka.
Para tetua gipsi dan teman-teman Anne yang sudah tahu betul duduk perkaranya sama sekali tak menyela, apalagi memisahkan keduanya. Mereka pun ikut larut dalam suasana haru, entah diam merenung atau terus bekerja, mempersiapkan keberangkatan rombongan Anne.
==oOo==
Di suatu pagi yang cerah, kereta kuda milik Horatio Hymn dan mobil Stephen Elgrade melaju, meninggalkan perkemahan darurat kaum gipsi di Pantai Ingram di tenggara Lore.