Keluar dari rahang buaya dan masuk mulut harimau.
Ungkapan itulah yang menggambarkan sebuah rasa, sebentuk firasat yang merasuki jiwa Arcel Raine, mengusiknya tanpa henti sepanjang perjalanan dari Pantai Ingram ke Alceste.
Perjalanan kereta kuda dan mobil itu agak mirip dengan Robert Chandler. Saat Kota Alceste sedang dikepung Pasukan Arcadia, dia lari menerobos pasukan dan perkemahan musuh. Tak terhitung jumlah jiwa yang jadi korban amukan Robert yang disebut berserk.
Robert menemukan kuda tuannya di tengah jalan, lalu terus menerjang musuh sampai ke Pantai Ingram. Tiba di tempat tujuan, Robert sempat berduel dengan komandan tertinggi pasukan musuh yaitu Pangeran Alexis Deveraux. Setelah musuh mundur dari Alceste dan pergi dari Lore lewat Ingram, barulah Robert kembali lagi ke Alceste tanpa halangan, membawa jenazah guru dan junjungannya yang dibunuh Alexis dalam duel juga.
Satu persamaan yang agak mirip antara perjalanan Arcel dan Robert dari Ingram ke Alceste, keduanya telah berhasil dalam misi masing-masing. Robert berhasil memulangkan jenazah gurunya, sedangkan Arcel berhasil membantu melindungi, menyelamatkan Putri Anne... justru dari serangan Robert dan pasukannya.
Kini, setibanya rombongan di rumah-bengkel milik Stephen Elgrade, barulah Arcel bisa duduk dan menghela napas lega. Rasa aman ini, walau mungkin hanya sementara, setidaknya memberi waktu bagi Anne dan kawan-kawan untuk merencanakan langkah-langkah ke depan.
Bagi Arcel Raine, tak ada hal yang lebih melegakan daripada melihat Stephen Elgrade dan Emily Raine memeluk para otomaton kerdil layakanya anak-anak mereka sendiri. Para otomaton yang manis dipandang itu berbunyi “blip-blip” ceria. Kemungkinan ada beberapa dari mereka yang rusak total akibat gempuran pasukan Robert beberapa waktu lampau. Dilihat dari banyaknya jumlah otomaton yang masih utuh atau telah diperbaiki oleh sesamanya, jumlah mereka hanya berkurang tak lebih dari sehitungan jari.
Tak hanya itu, Arcel juga membiarkan Horatio Hymn terus mendampingi Putri Anne beristirahat di sofa ruang tamu. Namun Putri Anne jatuh tertidur, jadi Horatio hanya bisa menyelimutinya saja. Lagipula mereka berdua sudah cukup banyak berbincang-bincang dalam kereta sepanjang perjalanan.
Membuat iri saja.
Pasalnya, Arcel sendiri tak banyak berbincang-bincang dengan Chloe. Hanya sesekali saja mereka bercanda, itu pun seputar Arcel yang dianggap sebagai “guru yang membosankan” oleh Anne. Tentu saja Arcel berdalih ia lebih mahir menembak dan mengayun pedang daripada mengajar. Pembicaraan lainnya hanya seputar hal-hal penting dan serius saja, seperti apa yang harus dilaporkan dan saat mereka menghubungi ordo nanti dan menggali gagasan-gagasan untuk dibahas dengan rekan-rekan lain saat menyusun rencana nanti.
Nyaris tak ada pembicaraan untuk lebih mendekatkan diri satu sama lain. Sebabnya, mungkin Arcel dan Chloe sudah terlalu lama dan terlalu nyaman bermitra, jadi sudah terbiasa satu sama lain.
Penyebab lain datang dari sisi Arcel. Setelah mengetahui satu kebenaran dari Emily, keturunan termuda Keluarga Raine, Arcel bimbang. Ia harus memastikan apakah Emily keturunan langsung, darah daging Arcel sendiri atau bukan. Entah apa pun jawaban yang akan ia dapatkan, fakta itulah yang penting untuk menjalani kehidupan abadinya ke depannya.
Berusaha keras agar Arcel tidak harus memilih salah satu di antara dua wanita, apalagi kehilangan keduanya.
“Arcel? Arcel!”
Yang ditegur tersentak dari lamunannya dan gelagapan. “Apa? Oh, kau, Chloe. Ada apa?” tanyanya.
“Ketua menghubungiku lewat telepati. Beliau memanggilmu ke markas, ada hal amat penting dan amat rahasia yang harus beliau sampaikan pada dirimu seorang,” kata Chloe.
“Mengapa hanya aku saja? Kurasa kau juga perlu tahu tentang rahasia itu. Kadang-kadang Guru Alistair bisa menyebalkan, ya.”
Sindiran Arcel itu membuat Chloe tertawa geli. “Yah, kurasa maksud Guru adalah biar aku yang berjaga-jaga di sini, siapa tahu Engelsohn sudah menduga kita semua akan bermarkas di sini dan mengirim pasukan dan para musafir kegelapan lagi kemari.”
Arcel menimpali, “Kau benar, Chloe. Lagipula kalau kau yang dipanggil dan aku disuruh berjaga-jaga, bila krisis datang mungkin emosiku akan meledak lagi. Yah, sudah hidup seabadi ini, tapi sifat pemarahku tak kunjung hilang.”