Air muka Arcel Raine kering seketika.
Betapa tidak, yang menghadapinya saat ini adalah musafir antar ranah yang kekuatannya satu, lebih tepatnya satu setengah tingkat di atasnya.
Gregor Engelsohn termasuk yang terkuat di antara musafir tingkat empat lainnya. Dan ia jelas hanya takut pada tiga musafir tingkat lima, yaitu Alistair Kane, Merlin Azrabel dan Eve.
Jadi, bilamana Arcel berduel satu lawan satu dengan Engelsohn, itu sama dengan manusia biasa yang melawan raksasa. Ia pernah menang melawan sang penghulu malaikat jatuh itu sebelumnya, tapi ia tak bertarung sendirian dan mendapat asupan energi dewata dari Alistair Kane. Situasi itu jelas beda dengan saat ini.
Akan tetapi, ada cara lain untuk menghadapi “raksasa” yang satu ini selain bersilat prana, yaitu bersilat lidah.
“Tak peduli kau murid kesayangan Alistair Kane, sang penakluk Mephistopheles atau pahlawan yang ikut mengukir sejarah dalam dua zaman yang berbeda, demi tujuan besar Ordo Gregorian, riwayatmu harus tamat hari ini,” ancam Gregor.
“Tunggu dulu, Gregor Engelsohn,” sergah Arcel. “Sudah lupakah kau dengan perjanjian antara Ordo Altair dan Ordo Gregorian? Bahwa baik kedua pemimpin tertinggi Altair, Alistair Kane dan Merlin Azrabel serta kau sebagai pemimpin Gregorian dilarang turun tangan langsung dan menggunakan kekuatan dan kesaktian masing-masing? Bilamana kau membunuhku di sini, Alistair yang tahu hawa kehidupanku lenyap dari semesta akan menempurmu habis-habisan dengan segala kekuatan yang kami punyai.”
“Tentu aku masih ingat,” dalih Gregor, padahal ia takkan mau mengaku bahwa ia telah salah langkah, turun tangan mengejar Arcel. “Aku hanya ingin kau tahu, bahwa bila sampai aku khilaf dan kau menggagalkan rencana pertaruhan terakhir kami, aku takkan segan-segan mengobarkan perang antar sekte lagi. Dan apa pun hasilnya, kehancuran dan kekacauan yang terjadi pasti akan lebih mengerikan daripada revolusi atau Perang Dunia.”
Refleks, tangan Gregor terangkat untuk menutup mulutnya. Mungkin sekali ia telah kelepasan mengucapkan satu kata yang pantang terucap dalam situasi sekarang ini.
Mungkin sekali Arcel sudah menebak “rencana pamungkas” Gregorian tersebut. Mungkin sekali Arcel sudah tahu terlalu banyak dan hendak bertindak, setelah menemukan letak markas besar Gregorian dan mendatangkan bala bantuan dari Altair.
Belum lagi Arcel pasti sudah menyerahkan tugas pada tim lain untuk memperingatkan Raja agar meningkatkan kewaspadaan berkali-kali lipat. Dengan kartu-kartu yang telah terbuka semua seperti ini, pertempuran habis-habisan dan kehancuran gila-gilaan antara dua kubu musafir yang berseberangan tak terhindarkan lagi.
Apalagi bila Gregor turun tangan langsung.
“Nah, kalau begitu aku akan memberi satu peringatan terakhir, sebuah ultimatum bagi Ordo Altair,” ancam Gregor. “Jangan coba-coba menggagalkan rencana kami, atau kami akan mendatangkan kiamat lebih cepat daripada seharusnya. Cepat dan segera.”
Tapi Arcel menanggapi gertakan Gregor dengan sikap berbeda. “Sebenarnya aku penasaran mengapa kau begitu ngotot untuk mengubah sejarah, kalau perlu memundurkannya hingga Zaman Sihir kembali bangkit. Apa dasar pemikiranmu? Karena itu amat menarik bagiku yang berasal dari Zaman Keemasan Sihir.”
“Oh, benarkah?” tanggapan Gregor seperti ikan yang sudah melihat dan menghampiri umpan di ujung kail pancing. “Nah, biar kujelaskan agar kau paham.”