EVERNA Musafir Ishmina

Andry Chang
Chapter #1

01 Khamsin

Datang dan pergi badai melanda

Luluh-lantakkan segala, tanpa sisa

“Balada Khamsin” – Lagu Perjuangan Suku Bahrveh

Hanya badai terdahsyat yang pernah adalah yang mampu memulihkan tanah suci yang telah ternoda ini.

Di Jazirah Al-Kalam, tak ada wilayah yang lebih panas, kering dan tandus daripada Gurun Sarab’ar. Wilayah gurun di bagian barat jazirah ini mencakup dua negeri besar, yaitu Ishmina dan Khalikha. Kini, gurun ini terpecah menjadi dua bagian. Kesultanan Khalikha cukup puas dengan bagiannya, yaitu Gurun Timur.

Sebaliknya, Gurun Barat masih menjadi wilayah tak bertuan. Pembagian wilayah antara negeri-negeri Sekutu yaitu Parthenia, Lore dan Borgia yang menduduki Ishmina tak pernah jelas.

Maka, hanya ada Tentara Sekutu saja yang ditempatkan di Gurun Sarab’ar Barat, menjaga keamanan dan mempertahankan kedaulatan “para pembebas” itu. Mereka berkubu di benteng-benteng dan perkemahan-perkemahan yang tersebar di beberapa oase, memonopoli persediaan air di sana.

Salah satu perkemahan Sekutu itu berdiri di timur laut Gurun Sarab’ar Barat. Seorang prajurit Borgia berdiri di depan pagar kayu, memandangi matahari yang memanjat langit dari cakrawala pasir. Ia menguap, menyeka peluh di dahi dan mengoleskannya pada kedua mata untuk mengusir kantuk.

Mengerjap sejenak, kini matanya terbuka sepenuhnya.

Hal pertama yang dilihat si prajurit adalah gelombang pasir yang bergulung di kejauhan. Mengira itu angin biasa, ia hanya menutup hidung dan mulut dengan kain topi kerudungnya yang berfungsi sebagai cadar.

Gelombang pasir membesar, disertai suara gemuruh. Barulah prajurit itu membunyikan bel tanda bahaya dengan jeda antara dua dentang, agar para rekannya berlindung dari badai pasir.

Tiba-tiba, sebuah firasat mendorong si prajurit jaga menengok dari balik pagar, menatap ke arah badai. Samar-samar tampak sederet bayangan aneh dalam pasir. Sedetik kemudian, mata si prajurit terbelalak. Itu bukan badai pasir, melainkan… pasukan berkuda.

Secepat kilat ia membunyikan bel sambil berteriak kalap, “Serangan musuh! Itu bukan badai pasir! Tipuan! Itu musuh!”

Para prajurit dalam perkemahan cepat keluar dengan senjata seadanya.

Terlambat, musuh telah tiba dan menerobos pintu masuk.

Segalanya berlangsung cepat. Ringkik kuda, senjata-senjata saling beradu, menusuk, menyayat. Riuh-rendah teriakan pertarungan dan nyawa yang melayang. Ini sejenis dengan badai pasir, tapi jauh lebih mematikan.

Tak sampai setengah jam, tinggal para penunggang kuda saja yang masih tegak. Kubu perkemahan itu kini porak-poranda, semua tendanya rata dengan tanah.

Seorang penunggang, pria berpakaian terbuka yang memperlihatkan otot-otot nan kekar dan bekas-bekas luka di sekujur tubuh mengangkat golok berbilah lebarnya tinggi-tinggi. Ia lalu mengumandangkan teriakan melengking nan unik dan nyaring, tanda kemenangan. Seluruh pasukanpun ikut berteriak dan mengangkat senjata.

Lihat selengkapnya