Salah satu dari segelintir negeri di Benua Aurelia yang masih menikmati masa damai dan aman dalam Perang Kristal ini adalah Lore. Dalam udara kebebasan dan persamaan derajat, kota-kota dan pedesaan berkembang pesat. Perdagangan makin marak, seni-budaya yang sempat bungkam kini berkicau merdu, teriring munculnya karya-karya besar dan bakat-bakat baru.
Di antara mereka yang mendalami seni memasak dan mengolah makanan adalah seorang tukang roti bernama Marc Raine. Tiap hari, aroma semerbak tercium dari toko roti kecilnya di Alceste, Ibukota Lore. Rak-rak di semua sisi dinding dipenuhi roti dengan berbagai macam rasa, bentuk dan ukuran. Tentu saja, semua itu tercipta lewat kerja keras, memanggang roti sejak kokok ayam pertama menyambut mentari.
Dalam usia empat puluh tiga tahun, Marc masih tampak tegap dan bersemangat. Peluh bercucuran di keningnya, menuruni pipinya dan membasahi cambang, kumis dan janggutnya yang berwarna cokelat, sewarna dengan rambut pendeknya.
Otot-otot tangan Marc menegang saat ia mengeluarkan seloyang besar roti dari panggangan hanya dengan tangan kanan. Lalu, dengan tangan itu pula ia memasukkan loyang adonan ke tungku. Mengapa ia melakukan segalanya dengan satu tangan? Karena Marc sudah kehilangan tangan kirinya.
Marc tak bekerja sendirian. Seorang pemuda berusia enam belas tahun membantunya menyiapkan adonan roti. Tak seperti Marc yang bersemangat, wajah tampan-belia putranya, Arcel Raine tampak gelisah dan tak sabaran. Sesekali Arcel menyeka keringat dari rambut merah kecokelatannya, turunan dari ibunya yang telah tiada dan menoleh ke hari yang makin terang di balik jendela.
Saat loyang terakhir masuk panggangan, Arcel cepat-cepat menanggalkan celemeknya. “Selesai! Aku pergi dulu, ayah!”
Arcel berbalik untuk pergi, tapi tangan sang ayah menghalangi tepat di depan wajahnya.
“Eit, tunggu dulu!” ujar Marc. “Kita masih harus menyusun roti di rak, dan kau jaga toko sementara ayah belanja lauk-pauk di pasar.”
“Ta… Tapi ayah, Jake dan Flint sedang menungguku dan aku terlambat untuk…”
Sang ayah menyela, “Latihan pedang lagi? Tak bisakah itu ditunda sampai sore? Nanti siang saat toko ramai, kita pasti akan kewalahan!”
“Tak bisa, ayah, aku…”
“Bagaimana tak bisa?” Mata biru Marc menatap tajam bola mata Arcel yang berwarna sama. “Harus berapa kali ayah katakan? Kita ini keluarga, dan keluarga harus saling membantu! Aih, andai penyakit tak merenggut ibumu, mungkin kita takkan perlu serepot ini.”