Malamnya, Marc berdiri di depan kamar Arcel, membawa makanan berupa roti yang agak hangus dan sayuran rebus. Ia menaruh nampan makanan di lantai dan mengetuk pintu kamar.
Tak ada jawaban, pasti anak itu masih marah padanya. Terpaksa ia meninggalkan makanan itu dan melangkah ke kamarnya sendiri.
Baru keesokan paginya Marc mencoba lagi. Nampan makanan tak ada lagi di lantai, pertanda bagus. Jadi ia mengetuk pintu.
“Arcel! Arcel, bangunlah!” seru Marc.
Tak ada jawaban dari dalam.
“Arcel, ayolah, ayah ingin bicara.”
Masih tak ada jawaban.
“Maaf, ayah terlalu keras padamu kemarin. Ayah sudah memikirkannya semalam. Tolong mengertilah kalau larangan ayah itu demi kebaikanmu sendiri. Jangan ikuti kesalahanku di masa lampau. Supaya kau tak bosan, mulai hari ini kita akan mencari rasa-rasa baru untuk selai dan roti. Ayah jamin ini pasti akan menyenangkan…”
Tanpa sadar Marc mendorong pintu hingga terbuka.
Marc tersentak. Ia berpikir, mungkin Arcel lupa mengunci pintu saat mengambil makanan kemarin malam. Dilayangkannya pandangan ke tempat tidur. Tak ada Arcel di sana.
“Hei, Arce, jangan main-main…” Usia Arcel hampir genap enam belas tahun, jadi tak mungkin sembunyi seperti anak kecil. Marc menyibak seprai, menengok ke bawah kolong ranjang, membuka lemari pakaian. Tak ada Arcel di sana, di mana-mana.
Marc terperangah. Anaknya telah minggat dari rumah.
Kenyataan itu diperkuat dengan surat tak beramplop yang tergeletak di ranjang. Marc mengambil dan membaca isinya.
Ayah, aku pergi mewujudkan impianku, cita-citaku.
Maaf, tapi ayah tak memberiku pilihan.
Doakan aku berhasil dan menjadi pahlawan seperti ayah.
Semoga Vadis melindungi ayah.
Anakmu, Arcel.