Tiga tahun berlalu bagai angin.
Rumah bertingkat dua yang dijadikan toko roti oleh Keluarga Raine turun-temurun di Alceste ini tampak tak terurus. Dari luar, dinding batunya berlumut di sana-sini. Rangka kayu yang membingkai tiap sudut dinding tampak kusam dan berlubang-lubang dimakan rayap. Bagian atap yang tersusun dari rangkaian papan kayu paling parah. Ada yang sudah pecah dan berlubang, jadi jalan masuk bocoran air hujan atau salju dari luar. Meninggalkan kesan tempat ini tak berpenghuni.
Menyaksikan ini semua, seorang wanita yang berdiri di depan toko menggelengkan kepalanya. Ia menyingkap tudungnya, menyeka rambut hijau kebiruannya yang panjang bergelombang, tergerai hingga ke punggung. Lalu kedua tangannya bertengger di pinggulnya, menampilkan keelokan yang menarik perhatian lelaki manapun yang melihatnya. Sepasang bola mata birunya beralih ke kiri-kanan, mengamati setiap detil informasi yang ada.
Wajah wanita yang masih menyisakan kecantikan masa belianya ini merengut, seolah tak percaya pemandangan di depan matanya ini nyata.
Ia coba mengetuk pintu, namun tiada jawaban. Pintu kayu itu malah terbuka dengan suara berdecit, tanda engselnya jarang diminyaki. Terkejut, wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam.
Anehnya, bagian dalam toko malah tampak lebih bersih. Semua perniknya tersusun rapi, enak dipandang. Yang beda hanya roti-roti di rak-rak dinding, yang jumlahnya tampak jauh lebih sedikit dari biasanya. Marc Raine punya kebiasaan tak pernah membiarkan tokonya tampak kosong dan tak ditunggui, apalagi di tengah hari macam ini. Kerut kekuatiran yang tergurat di wajah wanita itu makin bertambah. Mungkinkah Marc memang sudah tiada dan si penerus kurang terampil mengelola usaha?
Menghela napas, wanita itu lalu mengulurkan tangannya, mengambil beberapa roti dari rak dan menaruh belanjaannya itu di meja pembayaran.
“Halo! Permisi! Saya sedang beli roti! Boleh tolong dilayani?” seru wanita itu dengan suara nyaring nan halus. Tampaknya ia cukup berpendidikan dan berasal dari keluarga terhormat yang mementingkan sopan-santun.
Sebaliknya, jawaban yang didapatnya adalah suara parau laki-laki dari dalam. “Ah, ya! Tunggu sebentar!”
Dari arah dapur tampaklah si pemilik toko yang bertangan satu, berjalan gontai. Ya, ia Marc Raine. Selamat dari kambuhan luka dalamnya, akal sehatnyapun pulih dan ia tetap bertahan hidup hingga kini.
Bedanya, kini ia tampak lebih kurus, pucat dan kelelahan, lebih tua dari usia sebenarnya, empat puluh enam tahun. Tubuhnya yang mengenakan pakaian sederhana dan celemek berlumuran tepung, selai, telur dan bahan-bahan roti lainnya, membuatnya terkesan lebih mirip gelandangan daripada gelarnya dulu, salah satu tukang roti terbaik di Alceste.
Marc tak memperhatikan si pembeli roti. Ia hanya melihat, mencatat, menghitung dan menyebutkan harganya dengan terburu-buru, ingin kembali ke dapur lagi. Si wanita membayar harga yang diminta. Marc menyimpan uangnya di laci meja kasir, mengucapkan “terima kasih” dan berbalik ke arah dapur.
“Tunggu dulu, Marc! Marc Raine!” Wanita berambut hijau kebiruan itu berseru tiba-tiba. Si lawan bicara menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Mau tambah lagi, bu? Mohon cepat, saya harus menyiapkan adonan di dapur,” ujar Marc.
Sebaliknya, si wanita malah menghampiri Marc, menatap wajahnya lekat-lekat. “Ya ampun, Marc!” serunya. “Apa kau tak mengenaliku? Ini aku, Caitlin! Caitlin McAllister! Letnanmu di Pasukan Lore dulu di Perang Thyrine!”
Dahi Marc berkerut sebentar. Ia menyeka tepung yang menempel dekat matanya untuk melihat lebih seksama. Beberapa saat kemudian, ia terkesiap.
“Astaga… Car... Caitlin!” Marc menepuk dahinya, namun ekspresinya tak bisa disebut gembira. “A… aku sampai lupa! Parah, parah sekali aku ini! Mari, mari! Silakan duduk!”
Terburu-buru, si tuan rumah mengelap meja-kursi di tengah toko. Lalu ia duduk setelah tamunya cukup nyaman.
“Sekali lagi, maafkan aku karena tak mengenalimu tadi, Caitlin. Tampaknya ingatanku sudah mulai parah karena terlalu sibuk bekerja.” Marc memaksakan senyum ramah, menutupi guratan keletihan di wajahnya.
“Selama bukan karena usia, kurasa sedikit lupa itu wajar-wajar saja,” ujar si tamu, membalasnya dengan senyuman pula. “Terus-terang, tadi aku nyaris tak mengenali tokomu. Kali terakhir aku kemari, keadaannya tampak serba rapi jali, layaknya toko ternama. Tapi sekarang?”
“Yah, mau bilang apa lagi,” sanggah Marc. “Peruntungan itu bagai satu kaki di roda kereta, kadang di atas, kadang di bawah.”
“Aku tahu. Tapi, sebesar apapun kesulitan, biasanya kau menghadapinya dengan penuh semangat. Kali ini, bara di matamu seakan pudar, berganti bayangan suram.”
“Memang semua kerja ini sungguh berat untuk satu tangan saja.” Marc mengangkat tangan sehatnya.