Lebih dari dua bulan setelah bertolak dari Alceste, tibalah Marc dan Caitlin di Handelburg, salah satu kota terpenting di Kerajaan Borgia, di tanah utama Benua Aurelia.
Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan melirik sekilas pada Marc, lalu berlalu lagi. Yang menarik perhatian mereka hanya lengan kiri baju Marc yang terkesan menggantung dan pedang berbilah lurus yang tergantung di punggungnya.
“Handelburg… Sungguh beda dari kunjungan terakhir kita dulu,” ujar Marc Raine, melangkahkan kakinya di antara lautan bangunan-bangunan yang masih terhitung baru.
Teriring tanggapan Caitlin McAllister, rekan seperjalanannya, “Tentu saja. Kala itu Handelburg adalah salah satu kota yang jadi sasaran Persekutuan Sihir dan kita termasuk anggota pasukan bala-bantuan Lore yang ditempatkan di sana.”
“Haha, benar juga. Pantas orang-orang itu melirik padaku, atau persisnya, pada pedang Perwira Lore di punggungku ini,” ujar Marc riang. “Mati-matian kita pernah mempertahankan kota ini dari gempuran Thyrine dan negeri-negeri Persekutuan Sihir.”
“Dan kita sukses mengusir musuh, walaupun dua per tiga kota hancur.” Caitlin menunjuk ke bangunan-bangunan baru itu. “Waktu itu pula kita bertemu dengan Waltzer Braun.”
Senyum Marc mengembang. “Oh ya, benar. Ia bergabung dengan kita setelah pertempuran itu. Waltzer… Ia sungguh sahabat yang pemberani dan setia. Ngomong-ngomong, apa kau tahu di mana dia sekarang, Caitlin?”
“Setahuku, Waltzer tinggal di kota ini dan bekerja sebagai pandai besi. Pendapatannya lumayan, cukup untuk menghidupi istri dan anak laki-lakinya.”
Kedengarannya itu hidup yang baik. Tapi, bukankah setara dengan masa-masa Marc sebagai tukang roti? Hidup terasa indah, harmonis dan bahagia hingga… Ilona tiada.
Marc tercenung, tersadar akan kebodohannya sebagai pengusaha. Selama ini ia mengira Arcel akan mengikuti jejaknya sebagai tukang roti, mempertahankan status “usaha keluarga” hingga ia tak mempekerjakan karyawan lain.
Saat Arcel minggat, Marc terlalu berduka dan sibuk mengutuki nasibnya sendiri, hingga lalai mendidik pewaris lain yang tak harus famili atau darah dagingnya sendiri.
“Yah, kuharap ia dan keluarganya tetap bahagia untuk seterusnya.”
Ungkapan tulus Marc menuai tanggapan. “Bagaimana kalau kita mengunjungi Waltzer sejenak?”
“Ah, tak usah.” Marc menampik. “Aku tak mau mengusiknya. Lagipula kita harus mengejar waktu.”
Caitlin menepuk bahu mantan atasannya itu. “Ayolah, Marc. Kita kan harus bermalam di kota ini. Anggaplah mengunjungi sahabat lama sebagai hiburan, supaya besok kita bisa berangkat dengan penuh semangat.”
Si lawan bicara terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ayo, kita ke rumahnya.”
Caitlin tertawa. “Marc, Marc. Tiap sore, Walt pasti sedang duduk-duduk di Hazmat, kedai minum langganannya.”
Tanpa terasa, keduanya terus berjalan melalui lorong-lorong dan gang-gang berliku di Handelburg. Hingga tibalah mereka di depan sebuah bangunan bertingkat dua. Sebuah papan nama berukiran lambang naga berkepala tiga tergantung apik di sisi gedung. Tanpa ragu, mereka langsung masuk.
Suasana dalam gedung ini sungguh beda dari kedai minum biasa. Dinding dan lantainya bersih, lentera-lentera terang-benderang dan musik lembut mengiringi seorang biduanita bersuara merdu di atas panggung.
Para tamunya, walau tak semuanya berpakaian rapi, cukup tahu diri dan menjaga kelakuan. Mengacau sekali saja, apalagi sampai merusak, bisa berakibat hukuman penjara dan dilarang masuk Kedai Hazmat selamanya.
Perhatian Marc seketika tertuju pada seorang pria berkepala setengah botak, bertubuh besar dan berpakaian sederhana yang duduk sendirian di meja pojok. Ia tampak sedang minum dari sebuah mug besar. Marc mengenalinya dan berseru, “Walt!”