Pulang malam-malam dalam keadaan babak belur, Walt jadi sasaran kekuatiran keluarganya. Hardikan dan keluhan sang istri nyaring bergema, memenuhi seluruh ruangan bagaikan gong ditabuh terus-menerus tanpa jeda.
Rumah Keluarga Braun ini tak terlalu besar, namun cukup rapi dan bersih. Entah bagaimana, saat memandang seluruh ruangan yang berhias bunga dan pernak-pernik nan cantik, rasa lelah dan sakit Marc seakan teredam.
Teringat olehnya rumahnya sendiri, yang ruangannya mirip sekali tempat ini. Bunga-bunga yang ditata rapi dalam vas-vas di tiap sudut ruangan, kursi berbantal kesayangannya yang nyaman, beraneka masakan lezat pengundang selera di meja makan.
Makin terhanyut dalam aliran kenangan, Marc bahkan melihat mendiang istrinya, Ilona yang secantik bunga membawakannya secangkir cokelat panas. Bahkan Arcel, dalam rupa kanak-kanaknya yang menggemaskan menghampirinya. Anehnya, wajah anak laki-laki itu tak tersenyum. Ia malah menatap Marc dengan wajah kebingungan.
Teriring ucapannya, “Paman! Paman baik-baik saja? Paman!”
“Paman”? Bukankah seharusnya “ayah”?
Marc tersentak dari alam lamunannya. Tepat di hadapannya kini, seorang anak lelaki berdiri agak membungkuk. Menatap Marc dengan kebingungan dan rasa ingin tahu terlukis di wajah tirusnya.
“Paman baik-baik, ‘kan?” ujar anak itu dengan polos.
Marc mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.
“Wajah paman lucu,” lanjut si bocah. “Banyak parut, seperti wajah ayahku.”
“Oh, ini karena dulu paman dan ayahmu pernah kerja sama-sama.”
“Jadi apa?”
“Eh…” Marc gelagapan. Apa perlu menunjukkan hal sebenarnya pada anak sekecil ini? “Pekerjaan kami melindungi orang. Tak hanya satu, tapi banyak. Contohnya ya, kota ini.”
“Waah, hebat!” Braun cilik bertepuk tangan. “Ayah bilang, parut di wajah tandanya ia seorang pahlawan. Jadi paman juga pahlawan, dong! Oh ya, aku sampai lupa. Namaku Theodore. Kalau paman?”
“Marc. Senang bertemu anak pintar sepertimu, Theodore.”
“Ah, tidak juga,” ujar Theodore sambil menggaruk kepalanya yang berambut kelabu kecokelatan. “Paman, boleh tanya, ‘pahlawan’ itu apa sih?”
Meledaklah tawa Marc. Ironis, memang. Ia bersitegang dengan anaknya karena satu kata itu, dan kini ia malah harus menerangkannya pada satu anak lain.
Untunglah istri Waltzer muncul bak dewi penyelamat. Wanita gemuk itu berseru dengan gaya bicara cerewetnya yang senada dengan wajahnya yang cemberut.
“Theodore! Sudah ibu bilang ribuan kali, jangan kurang ajar pada tamu! Lagipula ini waktunya tidur, anak muda! Ayo, ayo, cepat kau ke atas!”
“Yaah, ibu, Paman Marc kan belum…”
Walt menepuk bahu anaknya. “Sudahlah, turuti saja ibumu. Kalau ‘jurus maut’-nya keluar seperti tadi, pahlawan macam apapun pasti jadi sejinak domba. Ayo Theo, ayah masih ingin berbincang dengan Paman Marc dan Bibi Caitlin.”
”Tapi ayah…”
“Kapan-kapan ayah cerita tentang Pahlawan-Pahlawan Everna ya, ayah janji.”
“Baiklah! Janji ya, ayah! Raja Tunggal, Volsung… semuanya!”
Walt mengangguk, dan Theodore lari ke arah kamarnya. Suara-suara seruan sang ibu yang kuatir mengiringi anak itu, menjauh dari ruang tamu.
“Wah, kelihatannya Theodore suka padamu, ‘Paman Marc’,” sindir Caitlin yang kini bergabung bersama kedua rekannya ini.
“Yah, mungkin karena aku sama seperti ayahnya,” jawab Marc, jempolnya menunjuk Walt.
“Haha, bisa jadi,” sambut Walt. “Tak seperti kakak perempuannya, rasa ingin tahu Theodore sangat besar untuk ukuran anak delapan tahun. Lagipula, setelah kakaknya menikah, Theodore agak kesepian di rumah. Wajar tamu seperti kalian menarik baginya.”