“Terima kasih, Pak Marc. Berkunjunglah lagi kemari lain kali.”
Kata-kata pelayan toko makanan itu mengiringi langkah-langkah kaki Marc melewati ambang pintu. Marc mengangguk dan tersenyum getir, mengiyakan… bila ada lain kali.
Penampilan Marc kini berubah banyak. Ia mengenakan setelan baju, celana, baju lapis luar bahkan topi bertudung untuk perjalanan di padang pasir. Ia kini lebih mirip orang Ishmina daripada Lore. Sebuah tongkat kayu yang hampir setinggi tubuhnya tergenggam erat di tangan tunggal, pedang andalan tersampir di punggung agar mudah dijangkau bila diperlukan.
Ada lagi yang berbeda dari Marc. Ia kini tak lagi di Handelburg, melainkan di Erezhem. Ini adalah kota pelabuhan dan perdagangan terpenting, penghubung utama antara Ishmina dengan Benua Aurelia, serta gerbang menuju Gurun Sarab’ar.
Sejak dari Handelburg, sudah lima bulan Marc berkelana seorang diri lewat darat dan lautan.
Pasalnya, Caitlin McAllister yang semula berperan sebagai pemandunya kini tertahan di Handelburg. Ia harus membujuk Nyonya Braun agar mengizinkan suaminya membantu sahabat, menunggu persiapan Waltzer dan mengajarkan satu-dua hal pada Theodore cilik untuk mengisi waktu.
Tentu saja Caitlin memberikan banyak petunjuk pada Marc yang belum pernah ke padang gurun, termasuk arah dari Erezhem ke Hadassah, kota tempat Caitlin melihat Arcel.
Namun, arah saja tidaklah cukup. Marc butuh pemandu yang menguasai medan agar terhindar dari kesulitan seperti pasir isap, bandit gurun dan monster, juga yang tahu arah ke oase terdekat.
Memenuhi pesan Caitlin itulah, kini Marc memasuki kedai minum kecil di bagian timur kota. Suasananya kotor nan pengap, penuh bau-bauan tak sedap, berbeda jauh dengan Kedai Hazmat yang bersih dan mewah. Yah, setidaknya keributan dan baku-hantam yang sedang berlangsung di sini, yang kebanyakan disebabkan oleh masalah sepele takkan membuat semua yang terlibat dilarang masuk lagi.
Sambil mengelak dari mug yang melayang ke arah kepala, Marc duduk di hadapan pelayan kedai. Ia mencicipi minuman yang rasanya asam seperti keringat, lalu bicara pada pelayan, “Aku sedang mencari pemandu ke Gurun Sarab’ar Barat.”
Si pelayan, seorang pria berperut buncit, setengah botak dan hanya mengenakan celemek pengganti baju mendekat. Bau tubuhnya menyengat hidung, membuat Marc berjengit.
“Sesuatu mengganggumu?” Si buncit kedengaran tersinggung.
“Tidak,” ujar Marc tergesa-gesa. “Apa kau bisa membantuku?”
Si lawan bicara terdiam, memutar bola mata ke sekeliling lalu memberi isyarat dengan dagunya. “Ahmed di sana itu. Ia pemandu termurah yang…”
Marc memotong, “Uang bukan masalah. Aku butuh yang terbaik.” Tentunya ia tak menjelaskan pesan Caitlin, makin mahir seorang pemandu, tarifnya makin mahal, dan peluang sampai di tujuan dengan selamat makin besar pula.
“Kalau begitu, temuilah Jamila. Ia duduk di meja ujung, sedang adu panco. Mudah dikenali, karena dia memang wanita.”