Hampir di saat yang sama dengan Marc di Erezhem, sebuah rombongan melintasi hamparan pasir di Gurun Sarab’ar Barat. Rombongan itu bergerak menuju selatan, lengkap dengan kereta barang dan penunggang unta layaknya karavan, rombongan saudagar pengelana.
Dengan berlakunya perjanjian damai antara Persekutuan Mesinah dan Suku Bahrveh, makin sering karavan hilir-mudik. Ini tanda giatnya kembali perdagangan antara Ishmina dengan Lore, Parthenia serta negeri-negeri lainnya di Benua Aurelia.
Namun, ikut rombongan karavan tak berarti bebas dari tantangan, masalah dan ancaman bahaya. Pria muda ini contohnya, yang mencoba mengadu untung di tanah Ubanga tentunya sudah membekali diri dengan ilmu beladiri dan pengetahuan memadai untuk menghadapi badai pasir, bandit gurun dan monster ganas di perjalanan.
Dari jauh si pemuda dan rombongannya melihat sekelompok besar penunggang kuda yang berderap cepat, di bawah teriknya matahari dan pasir yang beterbangan. Dengan sigap si pemuda menghunus pedangnya, bersama para anggota lainnya bersiap menangkal serangan bandit gurun.
Tapi apa daya, pedagang tetaplah pedagang, bukan pendekar. Selain kalah jumlah, bagi para bandit ini para pedagang tak ubahnya seperti balita bermain pedang-pedangan. Satu-persatu para anggota karavan bertumbangan, tinggal si pemuda yang tampaknya paling gigih bertarung dan bertahan.
Walaupun cukup piawai, apalah daya si pemuda dikeroyok lebih dari lima orang yang sama piawainya? Kecuali ia mantan Perwira seperti Marc Raine, hasil akhirnya sudah jelas.
Bilah pedang teracung, menempel di kulit leher pemuda malang itu. Terpaksa ia menjatuhkan senjata, tanda menyerah.
Lantas, si pedagang muda diseret ke hadapan seorang pria yang mengenakan tudung dan cadar yang menutupi wajahnya.
Pria itu berseru, “Aha, masih ada yang hidup. Hei bung, beruntung sekali kau.”
Tersentak, pemuda itu melayangkan pandang ke sekitarnya, ke mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar karavan.
Orang yang ternyata pemimpin penyerbu itu melanjutkan. “Pergi kau. Katakan pada semua orang, yang melakukan ini adalah Laskar Khamsin dari Bahrveh.”
“Khamsin? Bahrveh? Tapi bukankah kalian…”
“… Sudah berdamai dengan Sekutu? Tidak lagi. Dengan ini perjanjian damai batal!”
Jelas sudah. Pemuda itu tak tahu ia benar-benar beruntung atau tidak. Ia hanya mengamati rajah merah berbentuk sabit tergurat di pipi mereka.
Tanda baru Pasukan Khamsin, momok padang pasir.
==oOo==