EVERNA Musafir Ishmina

Andry Chang
Chapter #9

06 Vanessa

Laju tombak terhenti.

Posisi ujung bilah tajamnya tinggal kira-kira sejengkal dari dada sasaran, tepat ditahan bilah pipih sebuah pedang.

Tampak wajah Jamila, si pelaku ternganga, tak mempercayai penglihatannya. “Mu… mustahil…”

Sesaat kemudian, melihat si pemimpin lengah, keenam bandit menyerbu maju, teriring teriakan, “Biar kami habisi dia!”

“Awas! Jangan!”

Peringatan Jamila terlambat. Bagai menari, Marc menyapukan pedangnya secepat kilat ke segala arah. Beberapa saat kemudian, tinggal Marc yang berdiri. Beberapa sosok berserakan di sekitarnya, kebanyakan terkapar.

Hanya satu lawan yang masih berdiri. Wanita itu memegangi tombaknya yang patah dengan gemetar, luka-luka menghiasi sekujur tubuhnya.

Jamila berteriak, “Semuanya, mundur!”

Hanya tiga bandit yang bangkit, dua dari mereka masih bisa berlari menyusul wanita itu.

Masih sempat Jamila berseru, “Coba bunuh Jamila, Marc! Lain kali, kalau gurun tak bunuh kau, Jamila balas dendam!”

Marc tak menggubris tantangan itu. Tak ada gunanya mengejar musuh yang melarikan diri, bahkan yang berjalan terseok-seok sekalipun.

Sebabnya, seperti kata Jamila, Marc masih harus menghadapi musuh lagi, yaitu gurun pasir dan para penghuninya. Perlu perbekalan, air dan obat-obatan untuk bertahan hidup. Tanpa itu, ia pasti mati. Kalau bukan karena luka-lukanya, pasti karena kelaparan dan kehausan.

Terasuk firasat buruk, Marc menoleh ke sekelilingnya. Petampakan unta dengan perbekalannya membuatnya menarik napas lega.

Namun, tanpa pemandu, bisakah ia berjalan dari oase ke oase? Mencapai Kota Hadassah hidup-hidup tanpa tersesat dan kehabisan bekal?

Akankah Vadis mendukung suratan nasib Marc Raine Si Musafir dalam langkah-langkah menguak takdir?

==oOo==

Sementara itu, di Markas Laskar Sekutu di Kavleth.

Panglima Geld Nacorian berseru, “Apa katamu? Pasukan Khamsin menyerang karavan!? Para barbar Bahrveh rupanya nekad melanggar perjanjian damai. Siapkan pasukan, kita gempur mereka malam ini juga!”

“Tunggu dulu, Panglima,” ujar Dvorakis, wakilnya. “Sebaiknya kita tangani ini dengan kepala dingin. Ingat, kita harus terus mengupayakan perundingan damai dengan Bahrveh.”

“Bahkan walaupun mereka jelas-jelas melanggar?”

Dvorakis mengangguk, lalu bicara dengan suara datar, “Coba kita tinjau situasinya. Kekuatan Bahrveh kini masih kalah dengan kita, tapi ditambah Pasukan Khamsin dan rakyatnya yang berjiwa pejuang, menyerang mereka langsung sama saja bunuh diri.”

Geld tercenung sejenak, lalu bicara dengan nada lebih tenang. “Jadi, apa saranmu, Dvorakis?”

“Kita kunjungi Sharif lagi. Tambahkan beberapa pasal baru dalam perjanjian damai sebagai bentuk tekanan atas aksinya itu. Bila ia menolak, kita bisa menggunakan itu sebagai alasan meminta bala-bantuan dari pusat Sekutu di Aurelia. Setelah semua siap, baru kita serang mereka.”

 Dahi Geld berkerut, mengolah kata-kata si wajah tirus.

Sesaat kemudian, Sang Panglima mengelus janggut panjangnya. “Baiklah, kita coba saranmu itu. Tapi kita butuh rencana cadangan, seandainya nanti ada perkembangan baru di luar dugaan yang merugikan Sekutu.”

“Tenang, Panglima. Aku sudah mempersiapkannya…”

Dvorakis mendekat pada Geld dan mulai berbisik. Sesekali Sang Panglima mengangguk, mencoba menyembunyikan senyum yang menyusup dari lipatan bibirnya.

 

==oOo==

Setiap detik adalah ujian.

Setiap langkah adalah keputusan.

Setiap tetes air adalah penyambung kehidupan.

Itulah yang terjadi pada Marc Raine saat ini.

Teriknya matahari serasa dalam panggangan roti. Kakinya terasa berat, bagai menyeret batu besar mendaki bukit. Apalagi yang ditariknya adalah seekor unta. Luka-luka yang tak kunjung sembuh bagai jarum-jarum raksasa menusuki sekujur tubuh.

Lihat selengkapnya