“Hei, lihat! Dia sudah sadar!”
Itulah kata-kata pertama yang didengar Marc saat matanya kembali terbuka. Sadar? Bukankah seharusnya ia disambut dengan kata-kata yang berbeda? Dan pemandangan ini… Oase dan pohon-pohon kurma?
Apalagi seraut wajah yang kini tampak dekat sekali, jelas pula. Wanita berambut putih yang mirip… Bukan, ternyata tak mirip Ilona. Warna kulitnya lebih cerah, lebih putih. Bentuk bibirpun beda, tampaknya bibir wanita ini lebih mungil, warna alaminya lebih merah jambu. Yang paling kentara, sepasang telinga yang terselip di antara rambut wanita itu berbentuk...
... Lancip, persis telinga elf.
Yang pasti, Marc masih hidup. Sengatan panas matahari dan wanita inilah sebagian buktinya.
Satu teriakan anak perempuan bergema. “Ibu! Bapak yang diselamatkan Kak Vanessa sudah sadar!”
Lantas anak yang mengenakan kerudung itu menghampiri Marc seraya berseru, “Pak! Bapak dari mana? Kok tampang bapak aneh sih? Sakitkah? Aih, tubuh bapak penuh luka!”
Bercak darah, darah kering luka dan bekas sobekan yang bertebaran di pakaian dan tubuh Marc masih kentara. Tingkah polos anak itu membuat Marc tersenyum, melupakan nyerinya.
“Si… siapa namamu, nak?” ujarnya lemah.
Si gadis kecil berseru semangat, “Namaku Pashe! Bapak?”
“Marc... Pashe, dimanakah ini?”
“Lho, ini jelas, ‘kan? Oase,” ujar Pashe sambil menunjuk ke kumpulan air. “Dan rumpun pohon kurma.” Ke kumpulan pohon yang berjajar bagai pagar. “Ini Kota Hadassah.”
“Haha, jelas, jelas. Jadi ini bukan fatamorgana…”
“Fata… apa?”
“Morgana. Fata-morgana. Bayangan di padang pasir. Saat melihatnya, pikiran kita mengira bayangan itu benda nyata, padahal tidak.”
“Oh, itu! Baik, lain kali aku akan bilang pada Morgana agar jangan menipu Bapak lagi. Kasihan, sudah luka-luka, tertipu pula. Ck, ck, ck…” Pashe menggeleng jenaka, membuat Marc hampir meledak dalam tawa.
Sayang, tawa itu diredam nyeri yang kembali menyapa.
“Aduh!” Marc mengerang.