Bahkan Marc yang pendatangpun dirasuki perasaan tenteram dan nyaman. Andai ini bukan gurun, ia pasti akan membangun rumah dan membuka toko roti di kota ini.
Tanpa sengaja pandangan Marc tertumbuk pada sebuah toko di pinggir jalan. Itu toko kain dan baju yang dijalankan satu keluarga. Si ayah sibuk melayani pembeli, si ibu menjahit di belakang dan si anak laki-laki membantu mengambil barang. Terbersitlah setitik kenangan, suasana yang persis sama seperti itu di toko Marc sendiri, bertahun-tahun yang lalu. Suasana yang kini tinggal kenangan saja.
Apa daya, di bawah todongan cakar sihir maut, si pahlawan perang ini hanya bisa pasrah digiring dua wanita, Vanessa dan Nabila. Pashe tentu saja pulang lebih awal membawa hasil oase.
Orang-orang di jalan yang melihat itu menunjuk-nunjuk Marc sambil tertawa, kasak-kusuk mengumbar ejekan di balik bisikan. Harga diri Marc sebagai pria perkasa terusik. Ingin rasanya ia melabrak mereka, tapi keinginan itu segera diredamnya.
Akhir siksaan terpampang di depan mata, yaitu sebuah gedung bertingkat tiga, berbentuk kotak-kotak berundak-undak. Nabila yang membawa pedang Marc memutuskan berdiri, menunggu di luar gedung ini.
Vanessa berbisik ketus, “Ini kediaman Shah Suku Bahrveh. Jaga sikapmu, dengan begitu kepalamu akan terjaga pula.”
Marc mengangguk lemah.
Seperti dugaan Marc, bagian dalam gedung ini tampak lebih berwarna-warni dan lebih enak dipandang daripada bagian luar. Dinding putihnya dihiasi hamparan kain brokat tenun berpola rumit, berwarna-warni, digantungi dengan berbagai macam pedang dan perisai. Permadani dan karpet bermotif indah terhampar pula, memenuhi lantai berubin batu. Patung-patung batu tampak berdiri berjajar, menggambarkan sosok-sosok manusia atau binatang.
Prajurit bersenjata lengkap berjaga di setiap sisi lorong, mengawasi ketiga orang ini dengan waspada. Sebaliknya, Vanessa melenggang dan berjalan terus. Gadis itu hanya memberitahukan kehadirannya pada prajurit jaga yang segera mendahului mereka ke dalam.
Padahal di Lore, pahlawan seperti Marc tak bisa keluar-masuk istana dengan bebas. Dengan medalipun ia masih harus mematuhi seperangkat protokol yang cukup rumit, semua hanya demi bertemu sang penguasa negeri.
Satu prajurit jaga lain menyibak tirai besar yang menghalangi jalan, membimbing rombongan ke balairung.
Yang disebut “balairung” ini ternyata adalah sebuah ruangan besar penuh dekorasi, seperti halnya di koKavleth. Bedanya, hamparan permadani dan kain brokat di sini bermotif lebih indah dan detil, bahkan ada bagian-bagian yang disulam dengan benang emas dari emas asli. Motif sulaman timbulnya begitu hidup, hingga menjejakkan kaki di permadani itu bagaikan menyusuri hamparan bunga.
Tentu saja perhatian Marc cepat tertuju pada semacam panggung di kejauhan, yang terbungkus karpet. Anehnya, panggung itu dipenuhi sedikitnya lima wanita cantik-jelita, yang mengerubungi seorang pria bertubuh kekar yang duduk di kursi berbantalan yang terbungkus kain merah. Kelimanya mengipasi, memijat, bersandar, bahkan menyuapi si pria dengan buah kurma yang telah dibuang bijinya.
Si pria berambut hitam berombak dan berkumis tipis nan rapi, mempertegas kharisma pada wajah tampannya. Ia tampak sangat menikmati semua ini, bercengkerama, tertawa bahkan bercanda-ria dengan para wanita itu dengan suara keras.
Seorang petugas istana mengumumkan, “Nona Vanessa mohon menghadap Shah Sharif El-Fachrazi, membawa tawanan.”
Barulah dari sudut matanya Sharif menatap ke arah Vanessa. Bola mata hitamnya lalu beralih, menatap lurus pada Marc yang berlutut di lantai. Bukan menunduk, si tawanan malah menatap balik dengan sorot mata lembut kebapakan.
Sudah gilakah Marc?
Suasana balairung berubah seketika. Waktu dan udara seakan terhenti, karena semua insan di sana menahan napas, tak bergerak. Semua mata tertuju pada kedua pria ini.
Marc, seorang ayah mantan perwira dan pahlawan perang.
Sharif, pemimpin padang pasir dan pahlawan rakyat.
Sang Shah terus menatap penuh curiga dan tuduhan. Termasuk mengancam akan memenggal Marc saat itu juga karena kurang ajar menatap balik padanya.
Sebaliknya, Marc terus menatap lembut, menepis segala ancaman Sharif itu. Menyatakan itikad baik dan jati dirinya dengan gamblang, tanpa menutup-nutupi apapun. Ia seorang pahlawan yang telah membuang ambisi dan kini adalah seorang ayah yang takkan berhenti mencari anaknya. Itu saja.
Tak lebih, tak kurang.
Terserah apa Sharif akan percaya atau tidak.
Kemungkinan terburuknya, Marc yang tak dibelenggu itu akan merebut pedang seorang pengawal dan berusaha lari. Sharif yang cekatan pasti juga mengambil goloknya. Pedang beradu dengan golok, mementalkan para pemegangnya masing-masing tiga langkah ke belakang.
Untuk menjaga wibawa, Sharif melambai agar para pengawal tak ikut campur. Lagi-lagi ia menjajal lawan dengan sabetan golok yang sangat bertenaga dan cukup lincah.
Marc berhasil menangkis dua, tiga serangan. Namun luka-luka yang belum pulih membuat peluhnya bercucuran deras dan gerakannya makin lamban. Akhirnya ujung golok Sharif terbenam di dadanya.