EVERNA Musafir Ishmina

Andry Chang
Chapter #12

08 Tempat Untuk Pulang - Bagian 1

 “Yang benar saja! Menjaga dan merawat seorang pria asing di rumah kita? Dia bukan suamiku! Apa nanti kata tetangga?” oceh Nabila saat menggiring Marc bersama Vanessa sepanjang jalan. “Memangnya penjara di Bahrveh sudah penuh, apa?”

“Mau bilang apa lagi, ini perintah,” rutuk Vanessa. “Tenang saja, Sharif menempatkan dua prajurit yang terus berpatroli di depan rumah kita. Kalau Marc macam-macam, tanpa pedangnya ia takkan berkutik melawan dua prajurit ditambah sihirku.”

Suara-suara wanita di samping kiri-kanan Marc silih berganti. Nabila terus melontarkan keluhan terhadap Sharif, sementara Vanessa terus berusaha menjamin akan melakukan tugasnya dengan baik, melindungi semua penghuni rumah.

Di sisi lain, Marc berusaha tak menghiraukan perdebatan itu. Matanya menatap ke arah lilin-lilin dan lampu-lampu minyak yang mulai dinyalakan di rumah-rumah.

Satu pertanyaan muncul di benak Marc. Vanessa, seorang elf tinggal bersama Nabila dan Pashe yang adalah manusia. Apa hubungan antara mereka bertiga?

Tak lama kemudian, ketiga orang itu menghampiri sebuah rumah berbentuk kotak sederhana, bertingkat satu dan jelas lebih kecil daripada toko Marc di Lore. Nabila mengetuk pintu seraya berkata, “Pashe, ibu pulang!”

Tak lama kemudian Pashe membuka pintu, mengulum senyum lugu menyambut sang bunda. Saat matanya beralih ke arah Marc, ekspresi wajah gadis kecil itu berubah kebingungan.

“Lho, kok Paman Marc kemari juga?” tanya Pashe.

Vanessa melangkah masuk sambil bicara, “Nanti Bibi jelaskan di dalam.” Tampaknya ini akan jadi pembicaraan yang panjang.

Benar saja, memberi penjelasan pada anak berumur sembilan tahun bagi Vanessa lebih sulit daripada pada orang dewasa. Selain berusaha tak menyinggung “perang urat syaraf” antara Sharif dan Marc, ia juga harus membuat Pashe tenang berada dekat-dekat orang asing ini setiap hari.

Terlalu lelah, Marc hanya bisa duduk bersandar di dinding, dalam ruangan tak berperabot ini. Alas duduknya hanya bantal dan semacam tikar.

Dari balik bilik dapur, muncul Nabila membawa nampan makanan. Di nampan itu tersaji semacam roti pipih berbentuk lingkaran, dengan garis tengah hampir sepanjang garis tengah nampan. Dengan sigap Pashe bergegas ke dapur dan membawa sepiring penuh buah yang dagingnya berwarna cokelat, tiap butirnya kira-kira sebesar batu kerikil.

Buah kurma. Marc tahu itu sejak lama, saat jadi tukang roti. Rasanya cukup manis untuk menerbitkan air liur siapa saja, apalagi pengembara yang kelaparan seperti Marc ini. Namun ia tak bergerak, entah karena kelelahan, menjaga sopan-santun sebagai tamu atau keduanya.

Nabila, Pashe dan Vanessa memanjatkan doa. Rupanya mereka adalah pemuja Al-Khalik. Walau mereka bukan penganut Agama Vadis, sejauh pengetahuan Marc Al-Khalik adalah sebutan bagi Vadis, Mahadewa Cahaya di Jazirah Al-Kalam ini.

Suara Nabila membuyarkan lamunan Marc. “Silakan makan.”

Marc mengangguk, tapi tak makan. Ia hanya memperhatikan cara ketiga wanita itu makan. Mula-mula mereka mengambil roti lapis, melipat lalu memakannya. Berikutnya, masing-masing menjumput sebutir kurma yang sudah dikeluarkan bijinya dan memasukkannya ke mulut sambil terus mengunyah roti.

“Mmm, asyik! Ayo, makanlah, Pak!” tegur Pashe.

Marc terkesiap, lalu bicara, “Ah, apa kita tak menunggu tuan rumah dulu?”

Lihat selengkapnya