Beberapa hari kemudian...
“Jadi namamu Marc... Marc Raine?” ujar seorang pria bertubuh tambun, berkulit kehitaman terbakar matahari.
Marc mengangguk. “Ya. Shah menugaskanku sebagai pekerja wajib di sini.”
Si tambun membalik-balik buku daftarnya. “Hmm, ya. Ini dia. Marc Raine, dari Lore. Tugas, tukang batu...” Ia lalu mengamati perawakan Marc dan menggaruk-garuk kepala botaknya. “Aku tak mengerti. Bukankah tugas ini seharusnya dikerjakan dengan dua tangan? Mengapa Shah menugaskan orang bertangan satu untuk mengerjakannya?”
Marc tak menjawab. Wajahnya memucat, seakan ia baru menyadari sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi.
Gilanya, firasat buruk Marc tepat. Seperangkat palu dan pahat besi tergenggam di tangannya, sementara di hadapannya tampak hamparan batu-bata kekuningan yang baru selesai dicetak dan dikeringkan. Untuk Istana Shah, permukaan batanya harus rata dan besarnyapun harus persis sama. Hanya tukang batu berpengalamanlah yang mampu melakukannya tanpa cacat-cela.
Bagi pria cacat macam Marc, pekerjaan ini tak ubahnya siksaan yang kejam. Ia duduk mematung, mencoba mencari akal untuk mengatasi situasi ini. Memanggang roti saja bisa ia lakukan sendirian, seharusnya jadi tukang batupun bisa.
Disela hardikan si mandor gendut, “Mulai kerja sekarang! Jangan melamun! Atau telapak kakiku yang akan memahat kepala kosongmu itu!”
Kaki, pahat... tentu saja! Marc yang sudah bertahun-tahun tak bersiasat di medan tempur baru sekarang memikirkan ini. Ia mengangkat kakinya, menjepit pahat di antara kedua telapak kaki, lalu mulai memalu di tempat yang diinginkan. Namun, tanpa latihan memadai, yang terjadi entah pahat yang selalu jatuh atau palu yang meleset hingga permukaan yang dipahat itu tak rata.
Lebih parah lagi, palu Marc malah mengetuk kakinya hingga ia mengerang kesakitan.
Tanpa disadari Marc, ada beberapa orang, termasuk anak-anak berdiri tak jauh darinya, menonton. Bukan memberi simpati, orang-orang itu malah menunjuk-nunjuk dan menertawainya.
“Lihat, masa’ ia memahat bata dengan kaki dan satu tangan?”
“Haha, dasar orang gila!”
“Hei, bung! Carilah pekerjaan lain! Jadi pengemispun boleh!”
“Sudah, biarkan saja, toh sebentar lagi dia akan dipecat. Kita nikmati saja lawakan ini!”
Komentar terakhir itu disambut gelak tawa membahana.
Mungkin Marc telah berkali-kali dihina dan diremehkan orang, sejak ia masuk ketentaraan dan jadi tukang roti bertangan satu. Telah berkali-kali pula penghinaan itu ia tepis dengan prestasi yang membanggakan. Namun kali ini, akal yang tak kunjung berhasil dan tawa para “penonton” tak ubahnya pecut yang mendera batinnya. Walau perbudakan tidak dipraktekkan di kalangan Suku Bahrveh, namun bagi orang seperti Marc, “kerja wajib” ini bisa dianggap hukuman siksa atau perbudakan terselubung.
Lagipula, ini negeri asing. Status Marc sebagai pahlawan di Lore dan Handelburg sama sekali tak berguna di sini.
Belum lagi hukuman dan teguran bertubi-tubi dari mandor karena Marc sudah membuat satu bata jadi tak berguna. “Cih! Kalau bukan karena perintah Shah, kau sudah kupecat! Kalau bukan karena perbudakan dilarang, sudah kupecut kau sampai mandi darah! Dasar cacat tak becus!”
Kepala Marc terasa sangat panas, lebih panas daripada sengatan matahari. Sekali lagi, sejak kehilangan satu tangan, Marc merasa tak ada gunanya lagi ia hidup. Waktu itu, satu harapan yang membuatnya urung bunuh diri adalah Ilona. Apa harapan Marc untuk kali ini?