EVERNA Musafir Ishmina

Andry Chang
Chapter #14

09 Roti Musafir - Bagian 1

Ternyata titik terang yang dilihat Marc itu tak ubahnya cahaya lilin di seberang lautan. Hari demi hari dilaluinya sambil terus berkeliling kota dan bertanya sekeliling tentang anaknya tiap ada kesempatan. Namun semua jawaban yang diterimanya tak kunjung mendekatkannya pada secercah sinar itu.

Kenyataan bicara, lebih mudah memahat batu dengan satu tangan dan dua kaki daripada mencari satu manusia di tengah kota yang tak ubahnya mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Seteguh apapun mental Marc Raine sebagai mantan perwira perang, segala tekanan bertubi-tubi dari “kerja paksa” dan usaha yang tak kunjung membuahkan hasil tak ayal melelahkan jiwanya. Saat kembali di rumah Nabila suatu senja, Marc terduduk di lantai beralas karpet, meringkuk sambil memegangi kepalanya.

Ingin rasanya Marc menyerah, kembali saja ke Lore. Sekali lagi rasa sesal menyapanya. Setahun setelah “kabar petampakan” Caitlin itu, siapa bisa menjamin Arcel masih berada di kota yang sama? Kalau memang ia tak ada di Hadassah, lantas di mana lagi?

Andai Marc tak meluruskan kesalahpahamannya dengan Arcel, sisa usianya takkan bisa ia lewati dengan damai. Sungguh serba salah. Sekali lagi tekad Marc diuji, ditekan ke titik jenuh.

Lantas suara lembut Nabila menyapanya. “Sakit kepala lagi?”

Marc hanya mengangguk, tak mengubah gaya duduknya.

Tak ada tanggapan lanjutan. Marc mengira si nyonya rumah tengah menjaga jarak dengan kembali ke kesibukannya, atau langsung pergi menjemput Pashe yang sedang main di luar rumah. Ia menoleh, ternyata Nabila malah duduk di sampingnya, menyunggingkan senyum keibuan.

Nabila kembali berujar, “Belum ada petunjuk lagi tentang keberadaan anakmu?”

Marc menggeleng lesu.

“Belum ketemu cara memahat batu yang lebih mudah dengan satu tangan?”

“Belum. Bahkan mengikat pahat erat-erat pada telapak kakipun bukan ide yang baik, kurasa,” keluh Marc. “Entah sampai kapan aku bisa mengatasi ini semua...”

“Haha, masalahmu itu kalah rumit dengan masalahku.”

Marc mendelik. Bagaimana bisa? Bukankah Nabila ini ibu rumahtangga biasa? Ilona saja tak pernah berkata seperti itu.

“Aku gelisah karena Pashe sudah main di luar dengan teman-temannya sejak siang dan belum pulang. Padahal kau tahu kan, di sini udara panas selalu mengancam kesehatan siapapun yang terlalu asyik hingga lupa minum air.”

Nabila benar. Bahkan Marc sendiripun hampir berkalang tanah karena kehabisan air di gurun, saat pertamakali datang di kota ini. Sebagai seorang ayah, iapun cemas jika Arcel terlalu asyik main hingga senja.

“Biar kucari Pashe sekarang.” Marc bangkit dan beranjak ke arah pintu depan rumah.

Sekilas, Marc melihat Nabila tersenyum lembut padanya. 

Tepat saat hari mulai gelap, Marc kembali memasuki rumah Nabila dengan menuntun Pashe. Kepalanya kembali pening, tapi kali ini karena kerepotan menanggapi Pashe yang tak kunjung berhenti memberondongnya dengan pertanyaan. Pembicaraan mereka baru usai saat air segar membasahi kerongkongan si pria dewasa dan si gadis kecil itu. Keduanya duduk, melepas lelah di lantai bertikar. 

Seperti biasa, di hadapan mereka tampak piring-piring berisi makanan biasa, yaitu buah kurma dan roti pipih... lagi. Marc mencuci tangan di baki berisi air secukupnya dan mengeringkannya dengan kain. Ia menoleh pada Pashe dan mendapati gadis kecil itu tetap duduk dan berpangku tangan.

“Lho, ada apa?” tanya Marc.

Pashe mencibir. “Huh, bosan. Makanannya itu-itu lagi.”

“Wah, bukankah ada yang lain?”

Tepat saat itu pula Vanessa datang dari arah dapur. “Tidak,” ujarnya. “Kami sedang kurang uang, jadi sementara ini hanya bisa beli tepung dan bahan-bahan roti, sekalian memanen kurma jatah keluarga kami setiap minggu.”

Nabila menyusul masuk dan menimpali, “Ya, benar. Cobalah mengerti, Pashe. Usaha jahit dan jual kasut kita sedang lesu. Teruslah berdoa, siapa tahu suatu hari Vadis akan menunjukkan jalan keluar dari masalah ini, dan kita tak perlu selalu makan roti kurma saja.”

Kata-kata terakhir Nabila membuat Marc tersentak. Roti... kurma... roti dan kurma... roti kurma. Wajah Marc jadi berseri-seri.

“Bagaimana jika kurma digabung dengan roti?” gumam Marc.

Lihat selengkapnya