Beberapa hari kemudian, Marc kembali melangkah ke gerbang utara Kota Hadassah.
Ya, ia ingat keterangan si pandai besi. Karena Arcel bukan penduduk kota ini, jalan terbaik adalah bertanya pada mereka yang tinggal dekat tembok utara. Ini jalan yang dilalui Marc saat memasuki kota ini pertama kalinya, sekaligus yang paling banyak dilintasi para pendatang.
Saat Marc hendak mendekati orang pertama yang baru memasuki gerbang, perhatiannya teralihkan oleh suara-suara pertengkaran dan pemandangan yang tak biasa.
Seorang pria bertubuh sangat kekar dan seorang wanita berambut hijau kebiruan sedang berdebat dengan petugas jaga. Jelas mereka berdua tak asing lagi di mata Marc Raine ini.
“Dan katakan pada pemimpin kota ini, dia tak berhak seenaknya melarang orang asing masuk, bersenjata atau tidak! Suruh dia keluar! Biar aku, Waltzer Braun dari Handelburg membenamkan sedikit tenggang rasa di kepalanya!” seru Walt sambil mengepalkan tinjunya.
“Kurasa cara itu hanya akan membuat kepalamu terpisah dari raga, Walt, sobat lama,” ujar Marc sambil terus mendekat.
Spontan Walt menoleh dengan wajah geram.
Ia lantas ternganga di balik janggut kecokelatannya, bibirnya bergetar. “K-kau… Marc? Marc Raine?”
“Secara pribadi,” jawab Marc sambil membuka topi-tudungnya, memperlihatkan wajah seutuhnya.
Si wanita, Caitlin McAllister juga mendekat sambil berseru, “Ya ampun, benar rupanya! Kau masih hidup! Marc, semula kukira kau telah… Kau tahu kan, padang pasir, tempat yang belum pernah kaudatangi seumur hidupmu itu terlalu berbahaya…”
Sebelum Caitlin malah berbincang panjang-lebar di gerbang, Walt kembali menyela, “Yah, pokoknya Marc di sini dan sehat-walafiat. Tapi lihat kami, aku tak mengerti mengapa kami dilarang masuk.”
“Nanti kujelaskan duduk perkaranya,” jawab Marc tenang. “Sekarang, biar kuusahakan kalian diizinkan masuk.”
Marc lalu bicara dengan prajurit itu. “Tak masalah. Mereka sahabat yang datang mengunjungiku.”
“Kau bisa menjaminnya, Marc Raine? Bila ternyata mereka berbahaya, kau juga akan kena hukuman berat,” ujar si prajurit.
“Ya, aku jamin. Tertulis, kalau perlu.”
Si prajurit malah tertawa menanggapinya.
Caitlin yang mengerti pembicaraan mereka protes, “Apa maksudnya ini?”
“Haha, tak perlu,” ujar prajurit itu sambil mengangkat tangan. “Jaminan dari Marc Raine selalu sebaik dan selezat roti buatannya. Baik, silakan masuk kota, tamu-tamu sekalian.”
Caitlin dan Walt silih-berganti menatap si prajurit dan Marc dengan raut bingung, tak percaya dengan apa yang baru mereka dengar dan saksikan.
Seperti biasa, Caitlin angkat bicara, “Marc, aku sungguh tak mengerti. Apa sebabnya si prajurit mendadak sopan saat bicara padamu? Lagipula, bukankah seharusnya kau mencari putramu?”