“Semua, siapkan senjata!” Sharif menghunus goloknya.
“Musuh juga menyerbu dari belakang!” teriak seorang prajurit anggota karavan.
Serbuan dua arah. Tak ada jalan lolos bagi karavan itu kecuali mendaki bukit. Waltzer bergegas ke belakang rombongan, sementara Marc dan Sharif berusaha mengenali musuh di depan.
Dari jarak sepelemparan tombak, tampak segerombolan penunggang kuda berderap cepat, menerbangkan pasir ke udara.
“Pasukan Khamsin palsu,” gumam Sharif. Lalu ia berteriak, “Semua, bentuk Formasi Pagar Bertingkat!”
Dengan cepat pasukan karavan membentuk pagar betis, masing-masing terdiri dari dua baris prajurit dengan senjata teracung. Inilah taktik tempur pasukan pejalan kaki untuk menangkal pasukan berkuda.
Saat ini para penyerbu pasti terkejut, terkecoh karena para “mangsa”-nya adalah pasukan terlatih. Sudah kepalang, mereka malah berderap makin cepat.
Tampak oleh Marc seorang penunggang kuda yang melaju paling depan, mengangkat tinggi-tinggi pedang berbilah lengkungnya yang berkilau, memantulkan cahaya matahari. Itu pasti pemimpinnya.
Si pemimpin berperawakan pria, memakai tudung dengan wajah tertutup kain dari dagu sampai ke mata. Ia mengenakan baju putih lengan panjang berlapis semacam rompi berwarna cokelat. Dengan celana putihnya, penampilannya sungguh kontras dengan para “prajurit” lainnya yang tampak kumal, tak berseragam, lebih mirip… bandit gurun.
“Ayo, kita tunjukkan kekuatan Pasukan Khamsin asli! Untuk Bahrveh!” Seruan Sharif membahana bagai raungan singa.
Laksana pulau karang diterpa ombak dari dua sisi, terjadi benturan pertama nan dahsyat antara kedua pasukan. Denting senjata lawan senjata, ringkik kuda dan teriakan mereka yang berlaga berpadu dengan curahan darah pertama.
Empat bulan tak mengayun pedang, Marc merasa gerakannya makin lamban. Sebaliknya, justru sabetan pedangnya makin bertenaga berkat kesibukannya memanggang dan mengaduk adonan roti kurma. Dengan ringan ia menangkis tusukan satu bandit, lalu berputar. Bilah pedangnya menorehkan luka menganga di dada lawan.
Lawan berikutnya datang, menerjang dengan berkuda. Keberaniannya meluap-luap, Marc berlari menyambut.
“Sudah bosan hidup kau!?” Si bandit menusukkan tombaknya secepat kilat.
Di saat tepat, Marc meloncat tinggi-tinggi, meluncur deras dan menyambar tubuh lawan bagai elang menangkap kelinci.
Satu lawan lagi tumbang, Marc menoleh, mengincar lawan berikutnya. Telinganya menangkap suara seorang wanita yang amat nyaring. Marc bergegas ke arah sumber suara itu, suara yang pernah dikenalnya.
“Percuma bertubuh besar! Ayo, kenai aku kalau bisa!”
Tampak Waltzer mengayunkan palu besar bergagang pendeknya dengan satu tangan. Mendatar, tegak-lurus bahkan menyilang. Namun yang disambarnya hanya udara.
Sasaran si pria besar malah berkelit dan berlompatan seperti kera. Satu hantaman Walt terarah tepat ke wajah. Lawan bersalto tinggi-tinggi di atas kepala untuk menghindar, lalu membalas dengan tusukan tombak.
Ujung tombak meluncur deras ke arah punggung hingga mendarat di… permukaan palu Waltzer.
“Haha, lumayan lincah ternyata,” ujar wanita berkulit kehitaman dan berambut kribo itu saat kakinya menjejak tanah.
“Tapi itu tak ada apa-apanya banding kehebatanku. Hari ini juga, Jamila pasti antar kau ke neraka!”
Jamila. Ya, mustahil Marc melupakan wajah itu.