Ironi.
Itulah yang dirasakan ayah-anak Raine saat ini.
Bertumbuh dalam kasih sayang, berpisah dalam perbedaan cita-cita, lalu bertemu lagi, bersilang senjata.
Perjalanan, pencarian Marc mencapai ujungnya saat ia menyaksikan pemimpin gerombolan musuh itu membuka tudung, memperlihatkan wajah belia yang sangat tampan. Rambut cokelat kemerahan, mata cokelat mirip mata Marc dan raut wajah yang memancarkan kharisma dan wibawa. Tak salah lagi, inilah Arcel, putranya. Yang berbeda hanya rajah berbentuk sabit di sisi kiri pipinya, sama seperti milik Jamila.
Mata Marc berkaca-kaca. Ingin ia menghambur, memeluk putranya saat ini juga. Namun tubuhnya tak bergerak, seakan dilumpuhkan oleh sorot mata Arcel yang dingin membekukan.
Sambutan sang anakpun dingin. “Ada urusan apa ayah ke Gurun Sarab’ar?”
Hati Marc remuk-redam. Tubuhnya bergetar hebat, benaknya berjuang merangkai kata. “Mencarimu.”
Mendengar itu, Arcel terdiam sejenak.
Tiba-tiba senyum sinisnya merebak. “Mencariku? Mengapa harus repot? Bukankah ayah sebaiknya duduk tenang, memanggang roti tiap hari di Lore? Sudahlah, ayah kembali saja ke kampung halaman! Aku toh takkan pernah ikut ayah kembali ke toko roti membosankan itu!”
Marc menggeleng. “Ayah tahu kau akan mengatakan itu dan ayah kemari untuk meluruskan kesalahpahaman di antara kita. Tapi kini ayah sungguh tak mengerti. Katamu ingin jadi pahlawan, tapi malah jadi penjahat? Aib akibat kejahatanmu takkan pernah terhapuskan, sebesar apapun kehormatan yang kaudapat kelak!”
Geram, Arcel menggenggam gagang pedangnya lebih erat. Haruskah ia mendebat Marc dalam suasana pertempuran, atau menyerang ayahnya sendiri? Ia akan mutlak jadi durhaka, alih-alih membuat sang ayah bangga.
Lagipula, para bandit tampak sedang terdesak. Walau berkuda lawan para pejalan kaki, satu-persatu bandit gugur melawan Laskar Khamsin sejati berilmu tinggi.
Sebagai pemimpin, Arcel memutuskan. “Mundur! Mundur semua!”
Tak hanya beri perintah, ia berbalik membelakangi Marc.
“Arcel, tunggu!” seru sang ayah.
“Akan kutuntaskan urusan kita lain kali, ayah! Tapi kalau kau menghalangiku lagi mengambil kepala Sharif...” Ia menoleh pada ayahnya, tatapan matanya nyalang bagai serigala. “Aku takkan segan mengambil kepalamu sebagai gantinya!”