“Kurasa aku berutang penjelasan pada kalian,” ujar Marc.
Dalam Balairung Kencana Suku Bahrveh, semua mata tertuju pada Marc. Caitlin dan Waltzer, bahkan Vanessa, pengawas Marc ikut hadir. Wajah-wajah mereka tampak tegang, teriring suasana yang memanas.
Pemegang kunci suasana itu, Sharif, yang tak kunjung pulih dari luka-luka pertempuran bersandar di singgasana warna-warninya, dikelilingi para selir yang melayani dan merawatnya.
Mata Sang Shah tajam memandang Marc. Didera nyeri, suaranya tetap dijaga berwibawa. “Ya. Jadi jelaskanlah.”
“Pemimpin bandit gurun, Pasukan Khamsin Palsu adalah Arcel Raine…” Marc terdiam sesaat, menghimpun segala keberanian dan berkata, “…putraku sendiri.”
Yang paling terkejut tentu Vanessa. Diam-diam sebentuk cakar tersembul di jari telunjuk gadis itu, siap digunakan bila pemikiran terburuknya tentang Marc terkuak.
Suara Waltzer bergetar. “Katakan itu tak benar, Marc. Mustahil anakmu jadi penjahat.”
Marc menggeleng. “Andai aku hanya berhalusinasi, Walt. Andai pemuda itu hanya kebetulan mirip Arcel. Tapi tidak, dia memang anakku, walau aku sangat ragu ia masih menganggapku ayahnya.”
“Aih, takdir sungguh kejam, mempertemukan dua insan berhubungan darah hanya untuk memisahkan mereka lagi sebagai musuh,” ujar Caitlin, menunduk dalam geram.
Sebaliknya, Sharif malah tersenyum dan berkata, “Kita bisa saja menyalahkan takdir, tapi menurutku ini terjadi bukan karena kesalahan Marc, bahkan Arcel sendiri. Aku pernah muda, tak terhitung berapa kali aku mengambil keputusan yang salah hingga terjebak dalam masalah.”
“Setuju,” tanggap Waltzer. “Makin sering kita belajar dari kesalahan, kita akan makin berpengalaman. Itulah jalan menuju kedewasaan yang membentuk diri kita jadi seperti sekarang. Dan baru kupahami, rupanya Arcel tengah mengarungi jalan itu.”
“Karena itulah, aku takkan menghukum Marc. Juga anaknya, bila ia bersedia kembali ke jalan yang benar.” Kata-kata yang tak lazim diucapkan seorang pemimpin itu membuat wajah Marc yang semula tegang berganti senyum lega.
Kembali Sharif bicara, “Kembali ke masalah utama. Kini kita tahu, Pasukan Khamsin Palsu tak lain adalah bandit gurun. Masalahnya, bagaimana cara kita membuktikannya pada pihak Sekutu? Kita hanya dapat satu tawanan, dan dia tak mungkin mengaku.”
Baru saat inilah suara merdu Vanessa berkumandang, “Saat memeriksa jenazah para bandit, aku menemukan persamaan ciri yang sangat nyata. Di sebelah pipi mereka ada parut bekas luka berbentuk sabit…”
Caitlin memotong, “Parut? Bukan rajah?”
“Itu jelas parut,” jawab si elf. “Silakan melihatnya sendiri.”
“Percuma,” tanggap Sharif. “Kita tak bisa menggunakan rajah sebagai bukti. Sekutu pasti akan menuduh kita menorehkan bekas luka, takkan percaya para bandit dan Khamsin Palsu itu sama.”
Marc berkesimpulan. “Kalau begitu kita harus menyusun rencana baru, agar buktinya lebih meyakinkan.”
Penuturan Marc itu membuat Caitlin terlonjak penuh semangat. “Ada satu cara!” serunya. “Kita bentuk satu kelompok kecil, lalu menyusup ke markas para bandit itu dan mencari rahasia mereka. Kalau perlu, kita singkirkan pemimpin mereka…”
“Selamatkan, maksudmu?” Marc mendelik.
“Eh, ya.” Caitlin gelagapan. “Maaf, Marc. Ada sang pemimpin di pihak kita, kita akan menumpas para bandit dengan mudah.”
Vanessa yang sudah gatal ingin berdebat dengan Caitlin menyela, “Maaf mengecewakan, tapi Kak Caitlin belum kenal betul wilayah ini. Gerombolan bandit di Gurun Sarab’ar tak ubahnya cacing. Potong kepalanya, dan tubuhnya akan terus menggelepar sampai tumbuh kepala baru. Bunuh satu pemimpin, pemimpin baru akan menggantikannya, terus ke orang terakhir.”
“Dengan kata lain, kita harus membasmi semua bandit hingga ke orang terakhir,” ujar Sharif. “Jangan beri ampun!”
Wajah Marc pucat-pasi. Melihat itu, Sharif menambahkan, “Semuanya, kecuali putra Marc Raine!”
Serta-merta Marc berlutut di hadapan sang pemimpin. “Terima kasih, Tuanku! Aku bersumpah akan menyelamatkan Arcel, juga membela Bahrveh hingga titik darah terakhir!”
Dengan cepat Sharif membantu Marc bangun, menggenggam erat tangan tunggal Sang Musafir. “Bagus! Para pejuang terbaik Suku Bahrveh akan membantumu!”
Walt ikut menumpangkan tangan. “Membantu sahabat harus tuntas! Aku ikut!”
Disusul Caitlin yang menyentuhkan tinjunya. “Ilmu Pengelabu Mata milikku pasti akan sangat berguna!”
Terakhir, Vanessa menyentuh kepalan tangan Caitlin, berucap, “Demi Bahrveh.”
Diikuti sorak serempak keempat pendekar lainnya, “Demi Bahrveh! Al-Khalik jadi saksi kita!”
Kelima insan itu saling bertatapan, sambung batin mempertebal tekad yang makin membaja, menyulut semangat dalam suasana balairung ini.
Tuntas berikrar, rapat berlanjut.