Benteng Utama Sekutu, Kota Kavleth.
Seperti biasa, Geld Nacorian, Panglima Persekutuan Mesinah di Ishmina memenuhi hari-harinya dengan mengawasi latihan tentara, memeras keringat banyak orang di lapangan.
“Ayo, gadis-gadis! Gerakkan tangan dan kaki kalian lebih bertenaga! Jangan biarkan udara gurun membuat kalian lemah!” Si Ksatria pelatih, seorang pendekar memperagakan beberapa gerakan sapuan pedang dan tombak pada para prajurit infantri. Gerakannya cepat, lincah dan bervariasi,
“Kita harus siap setiap saat menghadapi musuh apapun, apalagi yang sering memakai tipuan seperti Laskar Khamsin... asli ataupun palsu! Mengerti semua?” seru si Ksatria.
Para prajurit menjawab serempak, “Mengerti!” Suara keras mereka bergema sampai jauh, tapi itu belum membuat Sang Ksatria puas.
“Tambah latihannya, satu jam lagi! Sampai kalian gadis-gadis berubah jadi pria sejati! Ingat, pria sejati tak pernah menyerah, tak pernah mengeluh, selalu siap bertaruh nyawa! Demi Everna!”
“Demi Everna!” sambut seluruh prajurit.
Sang Ksatria terus bersemangat melatih. Bersama pelatih panahan dan pelatih sihir, ia terus memompa semangat pasukan sementara matahari makin tinggi. Semua ingin cepat duduk dan istirahat, menikmati makan siang tepat waktunya.
Geld Nacorian menyaksikan semua ini tanpa senyum atau ekspresi apapun. Hanya matanya yang menyapu ke seluruh lapangan, memastikan segalanya berjalan lancar. Beberapa menit kemudian, Jayron Dvorakis, Sang Wakil Panglima mendaki tangga panggung. Ia lalu mendekat dan berbisik di telinga Geld, “Lapor, Panglima. Ada berita penting dan mendesak dari mata-mata kita.”
Geld mendelik penuh selidik, lalu bergerak sedikit menjauh dari panggung latihan dan hiruk-pikuk di lapangan. Dvorakis mengikutinya.
Setelah memastikan semua aman dan tak ada yang melihat mereka, kembali Dvorakis membisikkan pesannya di telinga Geld. “Mata-mata kita melihat sepasukan tentara keluar dari kota dengan diam-diam. Melihat jumlahnya, diperkirakan pasukan yang menjaga Kota Hadassah kini tinggal separuh dari keseluruhan tentara. Belum pernah Sharif mengerahkan pasukan sebanyak itu sejak perjanjian terakhir kita.”
“Kau tahu, Dvorakis,” ujar Geld. “Ini kabar terbaik yang kausampaikan padaku akhir-akhir ini.” Senyum langkanya mekar.
Saat itu pula, Geld kembali naik ke panggung latihan dan berseru dengan suara menggelegar, “Prajurit sekalian! Latihan hari ini selesai! Siapkan diri kalian, karena besok kita akan maju perang! Kita serang Kota Hadassah!”
Tak ada reaksi selain sambutan bergemuruh. Bagi para prajurit Nirvana-Sekutu pula, ini adalah akhir penantian panjang dan kerja keras berlatih mati-matian. Inilah kesempatan emas untuk kembali ke kampung halaman masing-masing, atau beristirahat dalam damai di pangkuan Vadis.
==oOo==
Sepanjang hidupnya, Vanessa, si gadis elf penyihir tak pernah menyangka akan menjadi bagian dari “bunga rampai” harem Sharif El-Fachrazi. Yah, untungnya bukan secara fisik, melainkan dari penampilan belaka.
Busana atas berbahan kain sutera yang hanya menutupi sekitar wilayah dada, berhias kalung di pangkal leher dan sabuk di pinggang sampai ke perut, semuanya berhias rangkaian permata warna-warni. Lengkap dengan celana hijau yang menggembung di bagian bawah, siapapun yang melihatnya pasti mengira ia adalah seorang penari.
Tak terkecuali para bandit yang berjaga tak jauh dari pintu masuk gua persembunyian di lereng bukit, menatap kagum sekaligus kebingungan pada Vanessa dan rombongannya.
“Mereka ini kelompok seniman keliling, terdiri dari para penyanyi, pemusik dan seorang wanita penari. Aku jamin, penampilan mereka pasti akan menghibur tuan kita,” ujar Jamila. Ia sengaja memakai baju aslinya yang berlumuran darah, luka-lukanya tampak baru diobati.
Pria berjanggut lebat yang tampaknya adalah komandan kelompok jaga itu meludah ke pasir. “Cuih! Apa-apaan kau ini? Aturan kita sudah jelas, dilarang membawa orang luar ke dalam markas! Lagipula, karena mereka sudah melihat kita, kita harus bunuh semua orang ini!”