EVERNA Musafir Ishmina

Andry Chang
Chapter #22

13 Muslihat dan Khianat - Bagian 2

Saat waktu yang ditentukan tiba, tampak deretan pemusik dan penyanyi siap di tempat mereka masing-masing. Pakaian mereka berwarna-warni, penuh hiasan layaknya penghibur bagi keluarga raja dan bangsawan. Mereka juga membuat suasana balairung gua yang suram menjadi cerah, menarik perhatian semua mata, menerbitkan senyum dan tawa-canda para bandit yang selama ini hidup serba keras dan disiplin.

Hanya para elf dari Laskar Separatis Ishmina yang tetap berdiam di tempat, tegak dan kaku laksana patung. Walau pengetahuan Vanessa tentang Ishmina cukup memadai untuk mengantisipasi potensi bahaya yang mungkin ditimbulkan para elf ini, ia tetap belum menemukan cara yang jitu untuk membuat mereka ikut terbuai.

Yang bisa ia andalkan hanyalah caranya sendiri. Tak ada jalan mundur, Vanessa hanya dapat berharap pada Vadis agar memberikan hasil terbaik atas usaha sebaik-baiknya ini.

Sang tuan rumah, Xavros Lenaviel mengangguk ke arah para penyanyi, disusul seruan pria pemimpin biduan, “Pertunjukkan Taborah dimulai, semoga penonton sekalian terhibur!”

Musik ala Ishmina, gabungan petikan dawai dan tambur mengalun merdu, meredam semua suara lain. Disusul suara merdu para penyanyi, pria dan wanita, melantunkan tembang bagai kicauan burung sambut-menyambut, membentuk bunga rampai syair dan nada yang mendendang hati, membuai telinga.

Tak henti tatapan Xavros terpaku ke depan, benaknya dirasuki oleh syair lagu yang menceritakan indahnya kampung halaman, belaian lembut istri atau kekasih dan pelukan anak tercinta. Tanpa sadar, para bandit yang rata-rata bertampang sangar itu menitikkan air mata. Sang elf pemimpin tak menyadari itu, perhatiannya sepenuhnya tertuju pada apa yang ia dengar.

Tibalah acara utama. Musik tiba-tiba berubah lebih keras dan cepat, rebana dan tambur ditabuh penuh semangat.

Inilah pengantar menuju atraksi utama. Sang primadona, Vanessa berjalan ke tengah balairung, kedua tangannya menggapai langit sambil pinggulnya meliuk-liuk. Gadis elf itu rupanya telah berganti kostum yang jauh lebih mewah, penuh hiasan dan permata, memperlihatkan perutnya yang rata. Tak ayal, semua mata tertuju padanya.

Maka, menarilah ia. Tubuh Vanessa melenggak-lenggok ikut irama. Otot perutnya bergerak-gerak, menyajikan variasi yang bebas, lepas, seperti tarian para wanita di harem Sharif dari Bahrveh. Sebenarnya Safir, Zamrud dan Mirahlah yang mengajari si elf semua ini, termasuk lirikan mata genit dan senyum pemikat yang selalu harus ada sepanjang pentas. Alhasil, ia membuat semua pria dalam ruangan ini tersihir tanpa perlu sihir.

Kecerdasan Vanessa membuat ia mampu mengingat setiap gerakan tanpa cela, menguasai tarian ini hanya lewat satu kali ujicoba. Namun, yang jelas membuatnya menari sepenuh hati adalah satu pria tepat di hadapannya ini. Bukan Xavros, si kakek awet muda yang duduk terbuai dengan mata tak berkedip, melainkan Arcel yang berdiri berjaga di sebelahnya dengan tangan selalu siap di gagang pedang.

Maka, disertai putaran, lenggokan dan goyangan tubuhnya, selangkah demi selangkah Vanessa makin mendekati Arcel. Gerakannyapun makin bersemangat. Tatapan matanya yang paling tulus, senyumnya yang terindah ia pancarkan pada Arcel, satu-satunya pria yang ingin ia taklukkan hatinya, menguji sekuat apa “kekebalan” pria ini pada pesonanya. Mencari tahu sebab Arcel menghindari dirinya dan menaklukkan itu semua.

Kefanatikannya pada Xavros, mungkin? Bila ya, Vanessa akan mengalihkan obsesi Arcel itu pada dirinya, dengan cara apapun juga. Bila perlu, ia akan membuat Arcel menikam junjungannya itu dari belakang.

Langkah si penari makin dan makin dekat. Wajah Arcel yang semula tanpa ekspresi kini mulai terbuai, runtuh sudah dinding pertahanan bernama “fanatisme” yang dibangun pria ini sejak awal. Mata Arcel kini lekat menatap Vanessa. Keduanya saling sambung batin, menyampaikan rasa kagum satu sama lain, juga rasa sangat akrab yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Tinggal dua langkah dari meja Xavros, namun Arcel belum bertindak. Diam-diam Vanessa makin kagum pada Arcel, pria yang takkan pernah berkhianat pada junjungannya walaupun telah terpesona begitu rupa.

Vanessa menghela napas. Mau tak mau, tetap ia yang harus bertindak.

Lihat selengkapnya