Dengan keberanian meluap-luap seperti biasa, Marc mencerca, “Bukan itu cara seorang guru mendidik muridnya! Kesetiaan seseorang seharusnya diperoleh lewat ketulusan hati, bukan rasa takut mati!”
“Tahu apa kau tentang kesetiaan?” Nada suara Xavros meninggi. “Dengar, ‘Ayah Arcel’. Hanya para Patriot Ishminalah yang mutlak setia padaku, karena kami dipersatukan oleh ikatan darah suci Lenaviel dan Istravel. Para bandit? Kesetiaan mereka hanya pada uang, harta benda dan kejayaan. Tanpa itu, mereka pasti akan menikam dari belakang. Rajah Sihir Merkavah inilah satu-satunya jaminanku atas kesetiaan mereka, tak bisa tidak.”
Arcel menyentuh rajah di pipinya. Ia cukup mengerti alasan rajah Jamila, tapi dalam kasusnya, berarti sang guru tak pernah sepenuhnya percaya padanya. Jangan-jangan pengakuan Arcel sebagai anak Xavros sendiripun hanya di bibir saja.
“Lagipula, para bandit tak bermoral itu hanya pion dalam misi besar kami,” lanjut Xavros, nadanya lebih santai kini. “Saat Ishmina Raya bangkit kembali, aku pasti akan menyingkirkan mereka semua. Kecuali satu orang terakhir, Arcel!”
Marc mendengus. “’Kecuali’? Kau dengar itu, Arcel? Camkan kata ayah, cepat atau lambat si Xavros ini pasti akan menyingkirkanmu juga!” Ia menatap Xavros, menebar tantangan. “Aku mengerti, cita-citamu melestarikan Marga Lenaviel dan Istravel agar kalian hidup damai, tak lagi diburu itu sangat mulia. Tapi kau melakukannya dengan cara yang salah, mengadu domba dan merebut negeri-negeri lain dengan paksa. Bahkan cara-cara paling busukpun kauhalalkan pula, sampai membuat perjanjian dengan... iblis. Itu sejatinya Merkavah, bukan?”
Xavros tak menjawab. Dari sorot matanya, amarahnya akan segera meledak.
“Yah, mau bilang apa lagi, tampaknya putraku memang sudah terikat mutlak dengan junjungan yang salah.” Marc mengangkat bahu. “Ingat baik-baik pesan ayah ini, Arcel. Raihlah cita-citamu setinggi langit. Maafkan ayah karena dulu mencegahmu jadi tentara. Seharusnya ayah mendukungmu penuh tanpa takut kehilangan kau, seperti halnya ayahku dulu.”
Mata Marc bertatapan langsung dengan mata sang anak yang kini tak lagi terselubung kebencian, salah paham dan kefanatikan.
Arcel berkata lirih, “Maafkan aku juga, ayah. Andai aku tak minggat, tak desersi dari Pasukan Sekutu untuk bergabung dengan Separatis Ishmina, ayah tak perlu datang jauh-jauh hingga terseret dalam situasi seperti ini...”
Sesaat, keduanya terdiam.
Dengan lembut Marc bicara, “Satu hal lagi yang ingin ayah sampaikan padamu, Arcel. Apapun jalan yang kaupilih, benar atau salah, berapa kalipun kau mengkhianatiku, seberapa dalampun kau mendurhakaiku, selamanya kau adalah anakku. Hubungan darah di antara kita takkan dapat dihapus oleh rajah sihir atau apapun juga. Ayah sayang padamu, Arcel.”
“Aku juga sayang pada ayah.”
Itu dia. Itulah kata-kata yang dinantikan Marc sedikitnya tiga tahun terakhir ini, yang ia ingin dengar dari mulut anaknya sendiri. Walau diucapkan setengah berbisik, nyaris tak terdengar. Walau diucapkan dalam kondisi yang sangat gawat seperti ini.
“Wah, wah, sungguh drama ayah-anak yang mengharukan,” sela Xavros dengan nada dibuat-buat. “Nah, sebagai hadiah karena sudah menghiburku, kalau Marc bisa menahan atau bahkan mengalahkanku dalam lima babak, ia boleh pergi.”
Marc ternganga. Benarkah Xavros berniat begitu? Tidakkah ia takut Marc akan membeberkan lokasi tempat persembunyiannya pada Sharif? Lagipula, rekan-rekannya mungkin sudah lolos dan rahasia hampir pasti akan bocor.
Yang paling mungkin, inilah usaha Xavros memancing simpati dan kesetiaan Arcel. Bukan cara yang paling terhormat, bukan pula paling tercela.
“Setuju,” jawab Marc, bersiap dengan pedangnya.