Detik itu pulalah, Marc menyadari nasib tak berpihak pada dirinya. Bilah Pedang Perwira Lore yang selama ini menjadi andalan Marc Raine menapak jalan kepahlawanan patah jadi dua, tak tahan lagi didera logam yang lebih kokoh.
Arcel yang sudah tergerak maju kembali dirundung ragu. Sang ayah kandung sudah terluka parah, kalah segalanya dari lawan. Beranikah ia meminjamkan pedangnya dalam satu pertaruhan terakhir? Bila Arcel bertaruh, peluang menang Marc bagai unta ingin masuk lubang jarum. Bila kalah, ayah dan anak pasti kehilangan nyawa.
“Jangan!” Marc rupanya tahu apa pilihan anaknya. “Tinggal... satu babak lagi. Biarkan... ayah menuntaskannya!”
“T-tapi... ayah bisa mati!”
“Walau harus mati... ayah harus tunjukkan... padamu... dan pada elf ini... cara bertarung sejati. Tanpa bantuan pedang terkuat... ataupun kekuatan pinjaman...”
“Heh, pidato yang agung dari si tangan kutung yang sebentar lagi berpulang,” ujar Xavros, membentuk senyum sinis di satu sisi bibirnya. “Tapi maaf saja, demi mencapai cita-cita besar, aku harus pandai memanfaatkan setiap bantuan yang ada. Mengandalkan kekuatan sendiri saja, itu cara orang bodoh!”
“Mungkin aku memang bodoh,” ujar Marc. “Tapi yang terpenting dalam duel satu-lawan-satu, menang atau kalah harus dengan terhormat. Itulah sejatinya pahlawan, bukan penakluk, bukan penjajah belaka.”
Penuturan Marc itu membuat Arcel tersentak. Jadi, seorang pahlawan tak diakui berdasarkan cita-cita dan prestasi semata, melainkan juga cara meraihnya. Secara tak langsung Marc ingin menunjukkan Xavros bukan pahlawan, sekaligus memberikan teladan, pelajaran terakhir sebagai seorang ayah untuk anaknya.
Pencerahan selalu datang di saat terakhir.
Sebaliknya, bagi Xavros, inilah sindiran yang telak menghunjam seluruh ego-nya bagai serangan pamungkas. Runtuh sudah pertahanan emosionalnya kini.
Matanya berkilau penuh amarah, tuturnya geram, “Kau salah, Marc! Hanya orang bodoh yang rela berkalang tanah demi gelar pahlawan! Babak terakhir akan membuktikan, meraih cita-cita jauh lebih besar daripada sekadar kehormatan! Biarlah aku dicerca, dihujat dan terhina sepanjang segala zaman, asal Negeri Ishmina Raya bisa kubangkitkan!”
Melihat Xavros akhirnya membuka cadar, mengungkapkan pikirannya yang sebenarnya, Marc menyorotkan sekilas senyum pada putranya seraya berkata, “Lihat, dengar dan pelajarilah. Siapakah pemenang pada akhirnya? ‘Kehormatan’ atau ‘cita-cita’? Waktulah yang akan menunjukkan kebenarannya.”
“Cukup bicara, sambut pedang!” Xavros melesatkan bilah pedang lurus-lurus ke arah Marc, tak lagi meminjam kekuatan Merkavah. Usaha memulihkan citra di mata anak didiknya ini percuma saja, karena si elf sudah “curang” di babak keempat tadi, ditambah lawan sudah luka parah.
Mengerahkan setiap tetes kekuatan yang tersisa, Marc melesat maju, mempertaruhkan segalanya dalam penentuan hidup-mati ini.
Tak terhindarkan, bilah pedang panjang Xavros menghunjam sisi kiri bahu lawan.
Menahan sakit yang mendera seluruh syarafnya, Marc malah terus maju, hingga bilah pedang Xavros menembus sampai punggungnya. Berkat tindakan “bodoh” ini, Marc memperpendek jarak lalu menghunjamkan pedang patahnya.
Xavros dengan cekatan berkelit dengan menggeser tubuhnya. Alhasil, patahan pedang yang semula mengarah jantung bersarang di bahu kanan dekat dada. Pegangan tangan si elf pada pedangnya terlepas, dan tubuhnya terdorong mundur.