Duka. Benci. Dendam.
Semua itu bergesekan, memantik bara amarah dalam diri seorang Arcel Raine.
Sang guru yang selama ini ia hormati, patuhi bahkan ia jadikan panutan telah membunuh ayahnya.
Yang lebih menyakitkan, sang anak hanya bisa terpaku, tak berdaya membantu, terbelenggu kutukan rajah Merkavah.
Serba salah. Ia diam, ayah mati. Ia turun tangan, ia akan mati bersama ayahnya.
Setidaknya, inilah kejadian terbaik di antara dua pilihan yang semua buruk.
Kini Arcel menatap tajam wajah Xavros Lenaviel, si munafik yang tanpa ekspresi, seolah tak terjadi apa-apa tadi. Seolah membunuh Marc tak ubahnya membunuh seekor lalat saja. Dan itu membuat si pemuda jadi mual dan muak.
“Tatap aku seperti itu lagi, kucungkil kedua matamu,” ujar Xavros tiba-tiba, menatap balik Arcel sambil menyiapkan semacam kuku merah runcing di ujung telunjuknya.
Teringat pesan ayahnya, Arcel menutup kedua matanya. Lantas ia mengangkat jenazah sang ayah dan berjalan menjauhi Xavros.
Tentu saja si pimpinan menegur, “Mau ke mana kau, Arcel!”
“Mengubur ayahku,” jawab Arcel acuh, terus berjalan.
“Hentikan itu sekarang juga dan kejar para penyusup. Ini perintah.”
“Hanya setelah ayahku dikebumikan.”
“Berani melawan, heh?” Tiba-tiba Xavros berkomat-kamit dalam bahasa aneh, tak jelas terdengar.
Detik berikutnya, rajah sabit di pipi Arcel berpendar merah, teriring erangan kesakitan. Jenazah yang dibawanya terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah.
“Sudah kubilang berulang-ulang, ini hukuman bagi pembangkang,” ujar Xavros dengan nada santai, namun sarat ancaman. “Mungkin wajah cacat akan ‘menawarkan’ racun yang ditanamkan Marc Raine padamu.”
Tak hanya siksaan di wajahnya, rasa sakit yang lebih parah mendera hatinya. Bahkan mengebumikan ayah sendiripun dilarang pula? Apa dalam budaya elf tak ada pasal tentang bakti pada orangtua? Apakah Keluarga Lenaviel yang agung menanamkan budaya durhaka pada anak-anaknya?
Tegakah mereka mengorbankan orangtua sendiri demi mencapai cita-cita?
Xavros tega.
Tiba-tiba, deraan rajah terhenti. Arcel meraba pipinya. Kulitnya melepuh, rasa sakit menyengat masih tersisa. Andai rajah terbakar lebih lama dari ini, wajahnya pasti cacat.
“Walau kau belum berkhianat, cepat atau lambat kau akan melakukannya,” ujar Xavros, sorot matanya sedingin es. “Aku tak suka caramu menatapku, murid bodoh. Biar hukuman tadi mengingatkanmu bahwa jiwamu milik Merkavah.”