Namun, yang terjadi kini ternyata jauh, makin jauh dari harapan. Lantas, apakah ia terpuruk dalam keputusasaan? Tidak. Kenangan tadi, segala nasihat dan segala pengalaman sang ayah kini menjadi pendorong Arcel untuk terus hidup, menerbitkan harapan baru. Sungguh, inilah warisan yang tak ternilai harganya, tak tergantikan dengan seluruh Terra Everna sekalipun.
Kembali ke kenyataan. Saat ini Arcel hanya dapat menatap pedangnya di kejauhan, terpisahkan oleh jeruji dan dipegang seorang ajudan Xavros. Peluang untuk lolos nyaris nihil, kecuali...
Suara-suara pertarungan terdengar di kejauhan.
Senjata beradu dengan senjata, berpadu dengan teriakan-teriakan yang nyaris senada, namun dengan berbagai makna. Semangat bertarung, rasa sakit, dan peregangan nyawa.
Salah seorang elf penjaga bereaksi. “Itu rekan-rekan kita! Mereka terdesak!”
“Kau benar!” kata si elf kedua, menghunus pedangnya yang ia rampas dari Arcel. “Kita harus bantu mereka!”
Si elf kedua baru hendak bergegas saat si rekan mencekal lengannya. “Tunggu! Jangan gegabah! Ingatkah perintah Tuan Xavros? Kita harus menjaga Arcel dengan nyawa kita!”
“Ingat, tapi...”
“Jangan pernah meragukan perintahnya!” sentak elf pertama. “Orang yang kita jaga ini jauh lebih berbahaya daripada musuh-musuh di luar sana! Kalau tidak, tentunya Tuan Xavros takkan memberinya kedudukan sebagai tangan kanan, di atas kita!”
“Benar katamu. Tak ada yang lebih memuaskan daripada manusia berderajat rendah diturunkan ke tempat seharusnya oleh orang yang mengangkatnya. Siapa suruh ia berkhianat, ha!” Si elf kedua berbalik, kembali ke posnya.
Tiba-tiba elf pertama menyeruak maju dan berseru, “Awas!”
Dengan gerakan refleks yang cukup lincah, si elf kedua berkelit. Ia menyapukan pedangnya ke belakang dan menangkis hunjaman senjata, yaitu sepasang belati.
Seketika, Arcel mengenali pemilik belati itu dan berteriak, “Bibi Caitlin, hati-hati! dia pakai Pedang Mithril milikku!”
Terkesiap, Caitlin McAllister menarik tangannya. Benar saja, bilah tajam pedang rampasan itu berkelebat sangat cepat, nyaris setara kecepatan gerakan si pengelabu mata itu. “Ha, mati kau, penyusup!” Rasa percaya diri si elf kedua bertambah berlipat ganda oleh pedang ringan di tangan.
Saat si elf pertama maju untuk membantu dengan pedang berbentuk aneh, tiba-tiba sesosok tubuh penuh gumpalan otot menerjang deras, teriring pukulan palu raksasa. Bereaksi cepat, si elf bersalto mundur, matanya langsung mengenali si penyerang. “Kau lagi!” desisnya.
“Wah, rupanya tampangku mudah diingat,” ujar Waltzer Braun, terus mengayunkan palunya dengan ganas. “Tak apa, kau pasti perlu mengingat rupa orang yang membunuhmu.”
“Oh ya? Bukankah sebaliknya?” Tiba-tiba pedang si elf memanjang, melecut seperti cambuk.
Bilah pedang kini menjadi deretan kait yang tergantung pada seutas tali kulit, menggores, menorehkan deretan luka di punggung Walt. Untunglah Walt mengenakan rompi pelindung dari kulit, jadi kulitnya sendiri hanya tergores, tak sampai koyak.
Si elf menarik kembali pedang-cambuknya seraya mengejek, “Menyerah sajalah, bung besar! Tenagamu bukan tandingan teknik berpedang Ishmina!”
“Dalam kamus Keluarga Braun, tak ada kata ‘menyerah’!” Walt meringis menahan sakit. “Kuberi pilihan untukmu, minggir, serahkan Arcel atau mati!”
“Oh, si pengkhianat itu?” Nada suara si elf dibuat-buat. “Langkahi dulu mayat kami!”
“Dengan senang hati!”
Palu besar Waltzer melaju deras, tepat ke arah kepala lawan. Dengan cerdik si elf merunduk hingga tubuhnya dekat sekali dengan lantai, balas melecutkan pedang cemetinya.