Anehnya, Xavros tak bergerak sedikitpun.
Lebih aneh lagi, tusukan pedang Arcel terhenti di udara, begitu pula dengan tubuhnya.
“Rupanya otakmu sudah rusak oleh dendam, muridku tersayang,” ujar Xavros dingin. “Kau bahkan membawa penyusup kemari. Jadi, terima kasih.”
Xavros berbalik, menghadap keempat musuhnya dengan Kristal Pelangi Merah di tangan dan seringai penuh nafsu membunuh. “Kini aku bisa membunuh empat lalat sekali tepuk... dimulai dari kau!”
Kristal merah yang melayang di atas telapak tangan Xavros berpendar, begitu pula rajah di pipi Arcel. Bedanya, Arcel merasa dagingnya bagai diiris, tulangnya serasa remuk.
Tiba-tiba, deraan itu lenyap. Arcel jatuh dan terkapar di lantai. Meringis menahan nyeri, ia melihat seorang wanita yang berpakaian seperti penari berdiri dengan tangan terulur.
“Gadis penari kecil menangkal Rajah Merkavah,” gerutu Xavros. “Menyebalkan.”
“Wah, Pak Tua ini mudah tersinggung rupanya.” Vanessa membalas dengan sindiran. “Apa kau sudah cukup tua untuk lupa pepatah lama, ‘tiap racun ada penawarnya, tiap sihir ada penangkalnya’?”
Caitlin maju menimpali, “Tiada yang mustahil di Everna, selama kita terus berusaha mencarinya.”
Disusul Walt yang mengacungkan palu besarnya. “Ada satu pepatah lagi, ‘tiap perbuatan ada akibatnya’. Kau telah membunuh Marc Raine dan mengacaukan perdamaian di Gurun Sarab’ar Barat. Akibatnya? Itulah yang akan kami timpakan padamu sekarang!”
Sebaliknya, Xavros malah tertawa dibuat-buat. “Kalian? Dengan kuasa apa kalian ingin mencegahku, hah? Vadis, Enia, atau Adair sendiri?”
“Cukup kami berempat saja,” Arcel menyimpulkan. “Sepak terjangmu sudah berakhir, Xavros Lenaviel!”
“Wah, wah, kalian salah.” Xavros menggoyang telunjuknya yang teracung. “Justru riwayat kalian yang usai. Aku telah menyerahkan tubuh dan jiwaku pada Merkavah, dan ia memberiku Pasukan Iblis sebagai imbalannya.”
“P-pasukan Iblis?” Vanessa terperangah.
“Ya, mereka adalah drivpara Atog yang telah bercokol di gua ini selama berabad-abad. Kini, dengan bangkitnya Merkavah, kebangkitan kembali Ishmina tinggal hitungan hari.”
“Sesumbar!” bentak Caitlin. “Teman-teman, jangan biarkan insan licik ini menggertak kita!”
Xavros berdiri santai. “Mungkin ini akan membuat kalian lebih yakin. Bangkit, jawara-jawara Merkavah!”
Kristal merah melayang tepat di depan dada, sambil ia membentangkan kedua tangannya.
Tiba-tiba, dari tepian altar di kiri-kanan elf itu muncul dua makhluk kehitaman dengan perawakan agak mirip Atog. Bedanya, alih-alih katak, bentuk tubuhnya lebih mirip manusia, lengkap dengan dua pasang tangan, sepasang kaki dan ekor yang sangat panjang. Ukuran tubuh mereka satu setengah kali lebih tinggi dari Waltzer dalam keadaan tegak.
“Atog raksasa!” seru Walt. “Aku dan Caitlin akan menangani mereka. Arcel, Vanessa, lawan Xavros!” Si pria besar menerjang ke satu raksasa, sementara si wanita lincah ke raksasa lainnya.
“Mari, kita lumat mereka!” Xavros membenamkan kristal merah hingga melesak dalam kulit dadanya, menghunus Pedang Mithril dan menerjang ke arah musuh.
Sasarannya, jantung si murid pengkhianat.
Sebagai satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sharif, pendekar pedang terkuat di Suku Bahrveh, Arcel menangkis serangan langsung itu dengan mudah.
Yang terjadi berikutnya adalah dua insan, manusia dan elf menari di “panggung” di tengah altar. Denting dua Pedang Mithril seolah berirama, makin nyaring seiring bertambahnya rasa benci dan dendam para pemegangnya.
Saat luapan kekuatan menuntut diledakkan, Xavros berseru, “Murid mustahil melampaui gurunya! Ini buktinya!”