“Cukup pantas. Wahai Vadis Maha Agung, di tanganmulah nasib kami semua!” Seluruh tubuh Arcel berpendar keemasan, seolah Vadis berkenan memberi tenaga tambahan.
Di sisi lain, suara Merkavah bergema, “Mengandalkan Vadis, eh? Biar kutunjukkan, aku ratusan juta kali lebih kuat dari ‘Vadis Maha Agung’ itu! Sambut ajal kalian!”
Merkavah merentangkan keenam tangannya, yang masing-masing memancarkan seutas sinar merah bagai benang. Keenamnya terkumpul di satu titik, tepat di depan dada. Tak hanya itu, dari mulutnya tampak benang ketujuh. Saat mencapai titik pertemuan, benang itu memicu energi merah yang makin membesar dan berpusar makin cepat.
Anehnya, Arcel memilih memusatkan energi cahaya matahari di jari telunjuknya, lalu mengusap bilah pedangnya dari pangkal sampai ujung denganlok jari itu. Dengan pedang berpendar, ia berdiri siaga, mengantisipasi kemungkinan serangan lawan agar tak salah langkah.
Di akhir proses, keenam tangan Merkavah mendorong bola merah berpusar itu, menembakkan pilar merah raksasa.
Detik itu pula, dengan mata seakan berkilau Arcel berlari tepat ke arah datangnya tembakan. Apa pemuda itu sudah gila? Caitlin dan Vanessa saja menghindar, bahkan jenazah Waltzer sampai terdorong jatuh ke dalam jurang, bukankah aksi Arcel ini sama saja bunuh diri?
Semua itu dijawab Arcel dengan satu tusukan sekuat tenaga tepat di titik tengah pusaran pilar. Kekuatan energi cahaya yang terpusat di ujung pedangnya membuat pilar merah terpencar, tak ubahnya air terjun yang terbelah.
Usai membelah pilar merah, ujung Pedang Mithril melewati tangan-tangan Merkavah. Hingga akhirnya bilah runcing itu menancap dalam satu sasaran, dada atas dekat lengan kiri.
Tak perlu merobek, tak perlu menyayat di detik penentuan hidup-mati ini. Bilah itu menembus cukup dalam, menanam energi cahaya yang telah dimampatkan dalam tubuh sang iblis.
Arcel cepat mencabut pedangnya, menolakkan kaki di dada Merkavah dan bersalto menjauh, menghindari sabetan taring-taring dan lengan si raksasa merah.
Caitlin sigap menyambut tubuh pemuda itu, menjaganya tetap berdiri dalam keadaan berdarah-darah.
Sebaliknya, Vanessa malah menyambutnya dengan protes, wajahnya tampak panik. “Merkavah masih berdiri! Pertaruhanmu gagal, Arcel! Habislah kita sekarang!”
“Hahaha! Serangan macam apa itu tadi? Habislah kalian!” Seakan membenarkan kata-kata si elf, Merkavah meraung keras, keenam tangannya terulur, siap menembakkan pilar raksasa lagi.
Namun, gerakan itu malah memicu ledakan sinar emas di titik tusukan Arcel tadi. Tak hanya itu, ledakan pertama tadi memicu reaksi berantai. Sinar emas mentari berledakan di sekujur tubuh Merkavah, dari pangkal leher sampai ujung ekor.
“Aagh! Mustahil!” raung Merkavah. “Manusia fana dengan setetes kekuatan dewata mustahil mengalahkanku! Tidak! Cita-citaku tak boleh terhenti di sini! Aku sudah begitu... dekat...!”
Apa daya, Merkavah tumbang. Ia terkapar di lantai altar dan tak bergerak lagi, dengan tubuh bagian dalam rusak total.
Iblis yang tampaknya maha digdaya
Vanessa terperangah melihat semua ini. Hasil akhir ini sungguh di luar logikanya. “K-kau berhasil, Arcel! Tapi... bagaimana bisa?”