Bagi Sharif El-Fachrazi, berada di garis terdepan pasukan tak ubahnya bagian dari pekerjaan sehari-hari.
Beda dengan kali ini.
Di bawah basuhan mentari fajar, menunggangi kuda kesayangannya, Sharif dan seribu tentara berkuda Suku Bahrveh berdiri tegap di depan tembok kota. Wajah-wajah mereka tampak gelisah dan tegang.
Sikap itu cukup beralasan, berhadapan dengan tentara Persekutuan Mesinah. Walaupun kebanyakan adalah pasukan pejalan kaki, jumlah tiga ribu tentara yang terhampar sejauh mata memandang cukup membuat bulu roma siapapun merinding.
Tak terkecuali Sharif sendiri.
Walau demikian, pemimpin yang telah ditempa pengalaman ini tetap menampilkan sikap tegar dan penuh percaya diri di hadapan kawan dan lawan.
Suara Sharifpun bernada tenang berwibawa. “Geld Nacorian. Datang berunding membawa seluruh pasukan? Kami Suku Bahrveh menjunjung tinggi kehormatan, jadi tak usah bersikap berlebihan.”
“Bukan aku yang berlebihan, tapi kau yang keterlaluan! Masih ingatkah kau pada perjanjian kita? Tampaknya kau menganggap sepi ultimatum Sekutu. Tenggat waktu telah lewat, jadi terpaksa aku datang menagih bayaran.” Geld menunjuk ke arah Sharif.
Sharif mengulurkan telapak tangannya. “Tunggu dulu! Para duta kami yang terpercaya telah memberitahuku siapa dalang di balik Pasukan Khamsin Palsu. Namanya Xavros Lenaviel!”
“Heh, benarkah?” sindir Geld. “Marga Lenaviel sudah punah. Kerajaan Ishmina sudah takluk, tinggal reruntuhan tak bertuan.”
“Benarkah? Entah itu Lenaviel sejati atau sebatas nama, dialah orang yang kalian cari, yang mengadu-domba Sekutu dan Bahrveh. Xavros itu nyata dan pasukan elfnyapun nyata. Kini para duta kami masih di markas Xavros, mengumpulkan bukti nyata. Mungkin bila Anda berkenan memberikan perpanjangan waktu...”
Geld menyela, “Tak ada perpanjangan waktu! Kini, hanya ada dua pilihan untuk kalian! Menyerah, atau kota kalian berakhir sebagai reruntuhan... seperti Ishmina!”
Sharif tampak terperanjat. “Ah! Tampaknya Anda ngotot sekali ingin angkat senjata. Jangan-jangan...” Matanya terbelalak. “Sejak semula, kalian tak pernah berniat berdamai dengan Suku Bahrveh! Kalian hanya mengulur waktu untuk melatih tentara dan membangun kekuatan. Saat Xavros berulah, kalian lantas memanfaatkannya untuk melemahkan Bahrveh, baru menyerang! Hebat, sungguh hebat!”
Sindiran Sharif telak mengena, namun Jayron Dvorakis, Wakil Panglima Sekutu maju menyanggah. “Jaga mulutmu, Sharif! Kami tak kenal Xavros Lenaviel dan pasukannya. Kau mengada-ada! Kami tahu kau berniat mangkir, walau kami beri perpanjangan waktupun kau pasti akan terus mengulur-ulur!”
“Hahaha! Pasukan Sekutu! Lihat Wakil Panglima kalian! Ia jelas sedang bersiasat untuk membenarkan serangan ke Kota Hadassah di mata Sekutu! Saudara-saudaraku, ayo kita lawan mereka! Lebih baik mati daripada dijajah! Lindungi keluarga dan orang-orang yang kita kasihi! Berjuanglah sampai titik darah terakhir, demi Bahrveh!”
Riuh-rendah seluruh pasukan menyambut, “Demi Bahrveh!”