Ini hari minggu, pukul sepuluh pagi. Alih-alih datang ke rumah Iren untuk membacakan buku harian, Gauri masih mengenakan baju tidur dan bolak-balik di depan pintu rumah. Rambut panjang dan kriting yang membingkai wajah bulatnya terikat berantakan. Mata sipit cewek itu melirik rumah mewah yang berada di seberang rumah. Dia meringis dan mengumpati diri sendiri.
Gawat. Ini benar-benar gawat.
Buku hariannya lenyap!
Semua curhatan selama dua minggu terakhir hilang tak membekas. Kalau ada seseorang yang membaca isinya ... ya ampun! Itu tidak boleh terjadi. Gauri menulis banyak hal menjijikkan di sana. Dia menghina Lian yang suka mengupil, Gugun yang suka minta jatah uang jajan, dan Mita yang berkelakar mau menandingi kecantikan Iren. Kalau salah satu dari mereka menemukan buku hariannya, atau orang lain yang menemukan lalu melapor pada salah satu dari mereka, habis lah. Gauri tidak mau kehidupan SMA-nya hancur hanya karena satu kecerobohan kecil!
Getaran di saku celana membuat Gauri memekik. Dia terlonjak samar, lalu segera mengecek ponselnya dengan tangan gemetar.
Lo di mana? Kenapa belum datang? Yasna sudah ada di sini, nih.
Napas Gauri tersekat dan matanya terpejam frustrasi. Dia mematikan ponsel, lalu meremas benda itu tak keruan. Bibirnya yang gemetar digigit pelan. Keringat dingin yang menjalar di lehernya semakin membuatnya tidak nyaman untuk diam.
Apa yang harus dikatakannya pada Iren dan Yasna?
Mereka pasti akan sangat kecewa dan marah besar. Pertama, agenda mingguan yang selalu dilakukan sejak kecil terancam batal. Kedua, benda paling berharga versi mereka ikut hilang bersama buku hariannya.
Gauri menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkan secara perlahan. Oke. Tenang. Dia memiliki tiga opsi untuk mengatakan berita ini pada Iren dan Yasna.
1. Gauri menelepon Iren kalau buku hariannya hilang dan mereka akan datang ke sini.
2. Gauri datang ke rumah Iren dan mengatakan kalau buku hariannya hilang lalu mereka datang ke sini.
3. Gauri menelepon Iren dan meminta pembacaan buku harian diundur jadi sore, lalu mencari buku hariannya sendiri.
Tiga opsi itu sudah berkeliaran di benaknya sejak tadi. Namun, Gauri masih tidak bisa menenangkan diri. Percuma. Dalam situasi genting seperti ini, sel-sel tubuhnya tidak mau rileks. Buktinya, keringat dingin semakin mengalir dan kakinya tidak mau berhenti bergerak barang sejenak. Payah. Kalau dia seperti ini terus, Iren dan Yasna mungkin akan melihatnya dari jendela, lalu menghampiri terlebih dulu, bukan sebaliknya.
Ya Tuhan. Gauri belum siap ke rumah Iren!
Cewek itu menghitung jari, berulang kali menggumamkan, “Sekarang. Nanti. Sekarang. Nanti....”
Dua balikan dia melakukan itu sampai di kata nanti, langkahnya terhenti. Raut wajahnya berubah datar. Sorot matanya tajam. Dia menunduk dan membeku. Seluruh tubuhnya terpusat pada bumi.
“Gue harus ke sana sekarang,” gumamnya tegas dan penuh keyakinan. Bertolak belakang dengan kata nanti yang tadi keluar dari mulut.
Gauri berbalik membelakangi pintu. Tatapannya lurus ke arah pintu rumah Iren. Masa bodoh dengan kemarahan Iren dan Yasna. Yang harus dilakukan sekarang adalah mengatakan kalau buku hariannya dan benda penting milik mereka berdua hilang. Kabar buruk lainnya, agenda mereka hari ini akan batal.
Gauri akan melakukan opsi kedua. Sepertinya, opsi itu lebih bagus daripada harus mencari buku hariannya sendiri atau menelepon Iren untuk datang ke sini. Tentu saja, tidak ada gunanya diam di depan rumah dan menunggu keajaiban.
Dengan langkah cepat -setelah menarik napas dalam-dalam- Gauri berjalan meninggalkan rumah. Melewati pagar, jalanan yang membatasi rumahnya dan rumah Iren, lalu sampai di depan pintu. Biasanya perlu lima belas langkah untuk sampai di pintu ini, tetapi kali ini lima langkah lebih cepat. Bagus. Gauri harus bergerak sebelum pikirannya berubah dan keberaniannya menguap.
Begini, setiap hari Minggu sejak Sekolah Dasar, Gauri, Iren dan Yasna selalu membacakan buku harian mereka bersama-sama. Mereka saling membagi kisah yang dialami selama satu minggu terakhir tanpa filter apa pun. Hal itu dilakukan untuk alasan-alasan tertentu. Alasan yang membuat mereka bertiga bisa bertahan hidup sampai saat ini.
Gauri mengetuk pintu dengan detak jantung yang bertalu-talu. Hawa panas mengumpul di atas kepala. Terdengar sahutan dari dalam rumah diikuti suara langkah kaki beradu dengan lantai. Dalam hitungan detik, pintu rumah terbuka. Iren muncul dengan rambut panjang sambil mencebikkan bibir. Di belakangnya, Yasna berjalan mendekat sambil mengunyah biskuit.