Iren masih menyukai Lega. Sekeras apa pun dia mengelak, semua orang dan dirinya sendiri juga tahu. Mungkin Lega juga tahu. Soalnya, Lega juga masih menyukai Iren. Sorot mata mereka tidak bisa berbohong. Salahkan saja ego masing-masing yang membuat mereka tidak mau jujur dan berpura-pura sudah saling melupakan. Itu lah alasan kenapa Iren semarah itu soal buku harian, padahal Lega sudah jadi mantan.
Cinta orang-orang keren semacam mereka memang susah, sih. Gauri dan Yasna tidak mengerti. Eh, mungkin Yasna sedikit mengerti. Dia kadang bertanya bagaimana cara Iren mendekati Lega agar bisa dipraktikan untuk mendekati Kalva, kakak kelas cuek yang katanya tidak suka makanan manis.
Gue? Kisah cinta gue runyam. Jangan ditanya.
Gauri masih cemberut. Yasna pun diam membisu. Mereka sama-sama mengawasi Iren yang berlari menuju garasi dengan baju terusan pink terkibas angin. Cewek itu membuka pagar, menghilang, lalu muncul dua menit berikutnya sambil mengendarai mobil metic. Yasna mengambil tempat duduk di jok depan, dan Gauri di jok belakang. Sekilas, saat memasuki mobil, Gauri melihat gerakan di seberang pintu. Cewek itu mendaratkan pantatnya, lalu menoleh. Matanya spontan mendelik saat mendapati seorang cowok ikut duduk di jok penumpang.
“Ada apa? Kenapa kalian panik kayak gini?”
Saat cowok itu bersuara, Gauri segera memalingkan muka. Iren tetap mengemudikan mobil tanpa berminat menanggapinya.
Perlu diketahui. Cowok ini sangat menyebalkan. Sangat-sangat menyebalkan. Suka ikut campur, kepo akut, banyak gaya, sok jagoan-
“Buku harian Gauri hilang.”
Terberkati lah Yasna karena menjawab pertanyaan cowok menyebalkan ini.
Gauri melirik cowok di sampingnya yang kini sedang menatap dengan mata terbelalak. Ekspresi konyol macam apa itu? Menyebalkan sekali.
“Kok bisa?” tanya si cowok penasaran. Matanya yang sering mengerling jahil kini berbinar simpati.
Gauri malas berbicara dengannya. Dia membiarkan Yasna menjelaskan semua masalah yang terjadi. “Hilang. Nggak tahu ke mana. Mungkin jatuh atau diambil orang.”
Tatapan cowok itu kini terfokus pada Yasna. “Nggak ada yang spesial dari buku harian Gauri sampai harus diambil orang.”
“Ada!” Iren dan Yasna memekik. Terlalu heboh. Sampai membuat si cowok tersentak ke belakang.
“Apa?” tanya si cowok penasaran.
“Pembatas buku pemberian Lega.” Iren bersuara. Alasannya menitipkan benda itu pada Gauri karena, itu satu-satunya benda sisa pemberian Lega yang tidak dibuang dan tidak mau dibuang. Jadi lah dia menitipkannya pada Gauri agar tidak ketahuan Lega. Soalnya, saat putus, Iren berkoar-koar akan membuang semua benda pemberian Lega.
“Tanda tangan dan tiket kelas memasak Chef Na.” Yasna ikut memekik heboh. Alasannya menitipkan benda itu pada Gauri karena, Gauri ikut mengantarnya membeli tiket. Karena tidak mau benda penting itu jatuh karena kecerobohannya, Yasna menitipkannya pada Gauri.
Mata cowok itu membeliak. “O, wow. Itu benda spesial.”
“Terus kenapa lo di sini?” sungut Gauri sambil menatap cowok itu dari atas sampai bawah, sengaja agar membuatnya tidak nyaman.
Cowok ini bernama Akdan. Tetangga mereka bertiga juga. Rumahnya berada di samping rumah Gauri dan di seberang rumah Yasna. Sekarang, cowok itu memakai kaus polo warna putih dan kolor kotak-kotak. Rambutnya masih berantakan, dan tampangnya nggak banget. Sekali tatap Gauri tahu kalau Akdan baru bangun tidur dan belum mandi.
Akdan berpikir keras mencari jawaban kenapa dia bisa ada di sini. Sebenarnya tidak perlu berpikir keras. Dia selalu kepo akut masalah Gauri. Alasan utamanya tentu itu. Masalahnya, dia harus menjawab pertanyaan Gauri dengan jawaban cerdas agar tidak kalah. Biar terlihat keren juga.
Begini. Saat Akdan keluar rumah untuk memindahkan tempat jemuran, dia melihat Gauri bolak-balik di depan rumah. Tidak lama setelah itu, dia mengunjungi rumah Iren dengan cepat, lalu berakhir di mobil ini. Dari ekspresi kaku mereka, Akdan tahu ada masalah. Jadi, dia ikut. Sekadar mau tahu saja. Sekarang dia sudah tahu dan tinggal keluar ... tidak bisa! Mobil sudah melaju. Baiklah. Dia akan ikut ke mana pun para cewek ini pergi.
“Gue-” Akdan hendak bersuara tetapi seketika terpotong ucapan Yasna.
“Kamu bantu kita cari buku hariannya aja.”
Syukurlah. Akdan mengangguk semangat. “Oke!” sahutnya mantap. “Ciri-ciri bukunya gimana?”
“Warna biru muda. Ada tulisan Gauri Yumita di sampulnya.”
Akdan merekam infomasi itu lekat-lekat. “Terus sekarang kalian mau cari ke mana?”
“Sekolah.”
Gauri mencibir. “Buat apa sih, bawa dia. Dia kan nggak tahu sekolah kita.”
Akdan tidak suka dengan ketidaksukaan Gauri. Dia hendak berdebat tetapi didahului Yasna lagi. “Cowok biasanya bisa diandalkan walau nggak tahu tempat.”
“Tuh, denger,” sahut Akdan. Merasa menang karena dibela Yasna habis-habisan. “Tapi asal lo tahu aja, ya. Gue tahu seluk beluk sekolah lo sampai ke tempat terbaik untuk bolos.”
Gauri mendelik dan Akdan tidak melanjutkan perdebatan. Ini bukan waktu yang tepat. Cewek itu pasti sedang kesal sekali. Lagi pula Iren dan Yasna sedang butuh bantuannya. Selama perjalanan, suasana ramai didominasi oleh Yasna dan Akdan. Mereka bercakap-cakap tentang kemungkinan buku harian jatuh atau dicuri orang. Gauri dan Iren sama-sama membisu. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak butuh waktu lama, mobil sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Yasna dan Akdan segera keluar diikuti Gauri dan Iren.
“Pak!”
Mereka kompak berteriak, merapat ke gerbang sekolah dan tersenyum manis saat Pak Satpam mendekat. Mereka berdiskusi perihal izin memasuki sekolah. Awalnya ditolak dengan alasan tidak boleh ada murid memasuki kawasan sekolah saat hari Minggu. Namun, setelah diskusi panjang lebar dan melancarkan kalimat rayuan, mereka bertiga diperbolehkan masuk dengan Akdan menjadi tahanan di pos satpam. Cowok itu protes. Tetap ngotot ingin membantu mencari ke dalam sekolah.
Gauri langsung menimpali. “Katanya mau bantu cari pembatas buku Iren dan tiket kelas memasak Yasna. Jadi nurut aja, kali.”
Cowok itu langsung bungkam, jelas menahan kesal; sementara Gauri menyeringai menang. Satu sama.
“Hari Jumat lo ke mana aja?” Iren bertanya ketika mereka bertiga tiba di lobi.
Gauri mengingat-ingat. “Kelas, toilet, kantin, dan taman belakang sekolah.”
Kelas untuk belajar, toilet untuk buang air, kantin untuk makan, dan taman belakang untuk menenangkan otak.
“Oke. Gue cari di kelas sama kantin. Lo cari di toilet dan taman belakang sekolah,” kata Iren.
Yasna mengapit lengan Gauri. “Aku nyarinya bareng kamu, ya.”
Iren menatapnya tajam. “Lo bareng gue.”
“Tapi jangan tinggalin aku kalau kamu ketakutan.”
“Iya,” desis Iren tidak serius. Yasna segera mendekat dan berjalan di sampingnya.