Algis Ganendra Ardani. Nama yang sempurna untuk soaok yang hyper seperti dirinya. Lahir di Jakarta 30 September 2004, tepat enam belas tahun yang lalu.
Ardan sapanya. Si cowok pemilik bibir tipis dengan gaya yang tengil. Sudah sepekan dirinya tinggal di rumah sakit, bukan karena dia sakit parah, bukan karena buat masalah di sekolah dan berakhir di rumah sakit. Hanya saja, Ardan terlampau hyper dengan segala tingkahnya dan berakhir masuk rumah sakit.
Ardan memang sehat, sehat walafiat, dia tergolong siswa yang tidak bisa diam. Bahkan segala hal akan dia lakukan, termasuk bermain futsal, bola basket dan mengisi waktu luang ketika pulang sekolah dengan anak-anak band.
Hanya saja, keaktifan Ardan tidak pernah didukung apalagi dilirik oleh sosok yang tak pernah mengharapkan hadirnya. Ardan itu rapuh, hanya orang terdekatlah yang tahu siapa Ardan. Dirinya terlampau sempurna untuk menyembunyikan sifat yang super membuat orang lain akan menggeleng setelahnya.
"Bang Panji,mana Mi?" tanya Ardan. Cowok itu akan duduk diam jika sudah melihat Kakak kesayangannya. Dia tidak akan pernah mampu untuk melawan, walau sebatas membantah ucapan kakaknya.
"Abang kamu tadi keluar, kenapa?" balas wanita yang sejak pagi tadi sibuk mengurus putra bungsunya. Ardan menggeleng, rasanya bosan, tapi dirinya tidak bisa melakukan apapun. Yang Ardan ingin saat ini adalah melihat Papa.
"Kamu kenapa ngelamun? Inget lho, ini akibat kamu yang nggak bisa diam, sampai kepeleset di tangga sekolah, untung guru kamu ngabarin. Dan beruntungnya, Abang Kamu juga lagi ada di rumah. Coba kalau dia nggak ada, siapa yang mau jemput kamu, Dek?"
Ya, jelas. Sudah pasti dan tidak bisa dipungkiri, jika satu-satunya wanita di runah besar sudah bersabda, Ardan akan memutar bola matanya jengah. Bukan karena tidak suka, melainkan terlalu keseringan sampai membuat Ardan hafal dialog-dialog yang akan keluar nantinya.
Kali ini dirinya hanya perlu duduk diam sambil menunggu Panji, kan? Tapi mengapa perasaannya tidak karuan, seolah mengisyaratkan kalau Panji akan pulang lebih lama.
Ardan terus menatap jam yang terpasang manis di dinding tepat di depannya.
"Mi, Bang Bang Panji mana?Katanya sebentar, tapi kok belum pulang? Kayaknya dia mangkal deh, Mi."
"Ngawur! Udah tidur aja, Mami dari tadi nemenin kamu, tapi kamu ngga tidur-tidur."
Ardan terkekeh, dia tidak lupakan satu hal tentang bagaimana Ibunya berceloteh. Justru Ardan lebih suka mendengar celoteh Panji meski kakaknya irit bicara.
Ardan tidak bisa membayangkan kejadian di sekolah minggu lalu yang mengharuskannya untuk tetap beristirahat.