Setelah bersantai di rumah beberapa hari. Hari ini Ardan sudah bisa kembali ke sekolah, beraktifitas seperti biasanya.
Bahkan tadi sebelum Ardan keluar dari kamarnya anak itu sempat memaiki Panji yang benar-benar menyebalkan.
Kakaknya akan bertindak sesuka hati, kalau Ardan tidak kunjung membuka matanya. Dan di sini-lah mereka, duduk bersama depan meja makan. Panggilan Alsha memang tidak begitu nyaring, namun Ardan masih bisa mendengarnya meski sedikit samar.
Kini anak itu terlihat lebih baik dari pada sebelumnya, bahkan semalam sebelum tidur pun Ardan meminta Panji untuk membantunya menyusun mata pelajaran. Ada beberapa mata pelajaran yang tertinggal dan beberapa lagi adalah tugas yang belum usai ia kerjakan.
Bersyukurnya selama Ardan di rumah sakit Pitter selalu datang, walau bukan sekadar menjenguknya. Pitter justru di minta Panji untuk ikut mengawasi adiknya. Selain hyper, Ardan termasuk kategori siswa cukup baik. Dan Panji tidak akan mengakuinya untuk saat ini, biarkan seperti detik jarum yang berbunyi.
"Seharusmya semalam itu aku tidur sendirian aja. Ini mah masih pagi buta udah bangunin, masih ngantuk tahu."
Panji tidak tuli, dia selalu ada ketika adiknya akan protes, dia juga bukan tipe Kakak yang lembut. Dia hanya tegas, tidak ingin membuat adiknya merasa tersisihkan di mata semua orang.
Bagi Panji seburuk apapun sikap Ardan, Ardan tetaplah sosok yang kelak akan membawa sebuah kisah, sebuah cerita yang nantinya akan sulit dilupakan.
"Bawel. Udah untung gue bangunin."
Ardan mendecih, anak itu tampak kesal, karena Panji pasti akan menyahutinya. Bukan sekali ini, tapi sering dan itu berlangsung setiap hari.
Awalnya Panji mengira adiknya benar-benar sehat, benar-benar tidak memiliki riwayat sakit. Hanya saja, duganya salah. Akibat kejadian masa lalu Ardan harus menerima hal yang seharusnya tidak pernah ada, bahkan membayangkan saja, bagi Panji itu mustahil akan terjadi.
Di luar sana banyak hal yang ia tahu tentang penderita gangguan mental, hanya saja yang d ialami Ardan berbanding terbalik dengan apa yang ia tahu.
Selama ini Panji hanya berpikir Mami-nya dulu hanya lelah sampai lupa untuk makan, bahkan ketika usia Panji baru genap enam tahun. Panji di karuniai seorang adik. Adik laki-laki yang lucu dan menggemaskan. Namun, kelahirannya tidak seperti yang di harapkan. Tak ada tangis atau jerit di sana. Anak itu memang hidup, memiliki dua mata, satu hidung, bibir mungil, serta dua telinga yang benar sempurna.
Lengkap tidak ada cacat sedikit pun. Sampai, ketika pertanyaan sederhana Panji itu muncul dengan sendirinya. Membiarkan pikiran seorang anak kecil mencari tahu mengapa adiknya tidak bersuara?
"Woi! Bengong. Ayok berangkat, gue udah telat Bang!"
Pikiran itu akhirnya berlalu, menyisakan tatap yang selalu Panji khawatirkan. Panji hanya bisa berdoa kelak adiknya benar-benar bisa di terima oleh semua orang.
"Kamu mikirin apa, Ji?" tegur halus dengan sentuh yang selalu membuat Panji luluh. Alsha bukan orang tua yang menyayangi hanya satu putra, dia tahu apa yang Panji rasakan ketika vonis dokter beberapa tahun lalu mengenai Ardan.
"Jagain Algis buat Mami, dia Adik kamu, dia nggak seceria yang terlihat. Mami hanya ingin kamu tahu, Papa kamu benar-benar tidak suka padanya, jadi tolong jangan biarin siapa pun menyakitinya."
Panji hanya bisa mengangguk selain ucapan Alsha yang begitu lirih, wanita itu seperti sedang berpesan kalau dia akan pergi jauh setelah ini.
"ABANG! BURUAN!"
"Suaranya cetar, telinga aku sampai mau lepas, aku pamit duluan, sarapannya enak, makasih Mi. Lain kali jangan buat sayur lodeh lagi, aku nggak suka."
Usai pamit pada Alsha, Panji segera melesat meninggalkan Alsha yang terkekeh setiap kali mendapat protes dari putra sulungnya. Wanita itu tidak lupa apa yang anak-anaknya suka, hanya saja Alsha tahu betul bagaimana Ardan begitu lahap ketika ada hidangan sayur favoritnya itu.
Meski acara sarapannya tidak begitu menyenangkan karena ulah Ardan, kini Alsha harus di kejutkan kembali oleh kedatangan Aries dengan penampilan yang benar-benar berantakan.
"Buatin saya kopi, jangan lupa nggak pake gula."
Alsha hanya mengangguk, setelahnya wanita itu berjalan meninggalkan meja makan sambil mrmbawa piring kotor sisa sarapan tadi. Alsha heran, suaminya akan pulang ketika Ardan tidak ada di rumah, seperti sudah memiliki telepati yang kuat saja.
"Anak itu sudah pergi?"
Suara barinton Aries selalu menjadi fokus Alsha untuk menghentika kegiatannya, wanita itu menoleh, menyahuti dengan anggukkan, sebelum akhirnya dia kembali dengan secangkir kopi pesanan suaminya.