Aguero Panji Ardana. Begitu lengkap dan sempurna sebagai sosok pelindung. Bukan hanya sekadar nama, melainkan sifat dan sikap Panji bisa dikategorikan sebagai sosok saudara yang begitu peduli. Contohnya seperti sore ini. Panji dengan senang hati menunggu kelas Ardan selesai, padahal dirinya sudah pulang lebih awal.
Bahkan Panji juga belum menghubungi Ardan kalau dirinya sudah ada di sekolah, tepatnya menunggu di parkiran sekolah yang luasnya seperti lapangan sepak bola.
Menurut Panji kecerobohan Ardan terkadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Di tambah sikap hyper Ardan yang kadang memang sulit terkontrol oleh dirinya.
Secara fisik Ardan terlihat normal dan baik-baik saja. Tetapi, mental dan keseluruhan yang ada di dalam tubuh anak itu tidak dikatakan sempurna.
Ada satu penyakit bila mendengarkan semua orang akan berlarian lalu menjauh. Namun Panji selalu mengatakan pada Ardan jika dirinya akan tetap bersama walau detik berikutnya takdir dan semesta mengambil apa yang sudsh di jaga.
Awalnya Panji hanya memejam sesekali cowok itu memijat pangkal hidungnya perlahan, sialnya adalah ucapan Dokter Thoriq membuat Panji kembali pada posisinya, duduk bersandar dengan pikiran yang berkeliaran.
Panji masih ingat betul bagaimana Dokter Thoriq menejelaskan penyakit itu ada pada adiknya. Hanya senyum masam yang bisa Panji berikan setiap kali mengingat nama penyakit yang di derita oleh Ardan.
Hampir saja lupa, Panji pun segera merogoh saku celana jeansnya untuk memberi pesan pada Ardan kalau dirinya sudah menunggu di parkiran.
Ardana Panji
Gis, Abang udah di parkiran, ke sini buruan! Pegel nih.
Belum lama Panji mengirim pesan, ponselnya kembali berbunyi mendapat balasan dari Ardan adalah yang menyenangkan dari pada mendapat pesan cinta dari seorang fans di kampus.
Ardani Algis
Otw!
Meski singkat, bagi Panji balasan Ardan adalah yang paling ia tunggu. Bahkan Ardan jarang sekali menelpom, baginya akan percuma jika akhirnya Ardan tidak akan benar-benar mendengarkan dirinya.
Tidak butuh waktu lama, Ardan pun sudah muncul dari balik pintu mobil melemparkan tas sekolahnya ke jok mobil belakang, lalu menatap Panji heran.
Matanya menciming membuat Panji menatap dengan tatapan bertanya, kemudian memberi isyarat pada Ardan tentang sekolahnya. Ardan tersenyum dengan raut wajah yang lesu.
Tangan besar Panji terulur lalu mengusap rambut Ardan begitu lembut. Panji hanya bisa menebak tapi tidak tahu kebenaran yang ada.
"Kenapa... um?" tanya Panji, Ardan menoleh membiarkan pandang mereka beradu.
"Gue sebel sama Bu Huri, baru juga masuk sekolah udah di kasih tugas banyak banget. Gila banget emang tuh guru kesenian. Dia nggak tahu apa suara gue itu merdu banget. Dia belum tahu keahlian suara gue yang cetar membahana."
Oceh panjang Ardan membuat Panji selalu memejam, suaranya bukan hanya meluapkan kesal saja, anak itu juga menpraktikan suara cetar yang merdu menurutnya dengan berteriak.
Sesekali Panji akan memasang headphone jika suara Ardan sudah menyeruak lalu berakhir menjadi nyaring dan fales. Sungguh, Panji terkadang kesal bukan berarti dia tidak suka.
"Oke, stop kita pulang. Muka lo udah lelah begitu seharian emamg ngepain aja?"
Suara panji menjadi penutup percakapan mereka, kemudian kembali ia melajukan mobilnya meninggalkan gedung sekolah.
Sepanjang jalan Ardan hanya bersenandung membiarkan angin yang bertiup menerpa wajahnya membawa melodi-melodi itu ke udara.
"Jangan buka kaca jendelanya Gis. Ac mobilnya nanti nggak kerasa dan rusak."