Sejak semalam sampai pagi ini, Ardan sama sekali belum mau berbicara atau keluar dari kamarnya. Bahkan Nakula dan Sabit yang awalnya ingin pulang pun urung, mengingat Panji yang kepayahan karena harus membantu Maminya yang tiba-tiba menjerit entah karena apa.
Sabit pikir Ardan akan baik-baik saja, tapi kenyataannya Ardan benar-benar mwngunci dirinya dari semua orang. Berulang kali Sabit mengetuk pintu kamar Ardan, begitu juga dengan Nakula.
Untung saja hari ini sekolah diliburkan karena para gurunya sedang rapat. Jika tidak. . . Ardan dan Nakula akan mencetak tanda merah lagi di absennya.
Dua minggu lalu Ardan, Nakula dan Pitter bekerjasama untuk bolos, alasannya mudah, malas bertemu mata pelajaran sejarah dengan guru yang kiler seperti Pak Baron.
Menurut Ardan, Pak Baron adalah salah satu guru menyebalkan satu sekolah yang pernah dia temui. Padahal Pak Baron merupakan satu-satunya guru yang cukup bijak dengan aturan.
Namun, bagi Ardan tidak seperti itu. Dia sudah dua kali ditegur oleh Pak Baron dengan tanpa alasan, siswa seperti Ardan tidak pernah suka mendapat hukuman dengan apa yang tidak ia lakukan. Bukan hanya itu, setiap kali Ardan diam, Pak Baron justru menimpali kekesalnya dari siswa lain pada Ardan.
Rasanya tidak adil, jika Ardan menjadi bulan-bulanan seorang guru. Pernah ketika Ardan benar-benar tidak ingin menjadi anak durhaka pada guru, ia memilih untuk diam dan tidak melakukan apa pun. Tapi, Pak Baron selalu mrmiliki cara untuk menjadikan Ardan sebagai sasaran utamanya.
Ucapan Pak Baron pada Ardan juga tidak pernah becanda atau sekadar main-main saja. Semua yang dialami Ardan orang-orang tidak ada yang tahu, kecuali Nakula dan Pitter.
"Gis, buka pintunya."
Suara Nakula sejak tadi sudah berulang kali memanggil namanya, walau tArdan tidak pernah mengunci pintu, tapi bagi Nakula mendapat izin dari Ardan adalah salah satu kepercayaan yang sulit di dapat.
Ardan pernah mengatakan kalau dirinya tidak pernah suka orang sembarangan masuk ke kamarnya, meski teman baik atau Kakaknya sendiri. Kali ini keadaannya berbeda, anak itu memilih mengurung diri dengan suasana hati yang tidak baik.
"Gis, ini gue Nakula, ada Pitter juga nanti dia ke sini. Please buka pintunya."
"Gimana... disahut ngga?" tanya Panji, tiba-tiba datang mendekati Nakula dengan nampan berisi sarapan di tangannya.
Nakula menggeleng, dia melangkah mundur untuk memberi ruang pada Panji yang siap akan membuka pintu kamar adiknya. Di detik berikutnya, suara gagang pintu itu terdengar dengan pintu yang terbuka sedikit.
"Apa?"
"Panji bisa dengar suara serak Ardan di balik sana. Panji tidak mrnyalahkan Ardan kalau anak itu tidak mendengarnya. Anak itu telah menghilangkan alat dengarnya semalam ketika mengamuk dalam peluknya.
Sementara, Nakula menatap Ardan dalam diam sambil mengambil alih nampan yang ada di tangan Panji.