Setelah pulamg dari rumah sakit dan memeriksakan Ardan di sana, kali ini Panji membawa adiknya ke sebuah tempat yang selalu ia dan Ardan kunjungi ketika bosan di rumah.
Beruntungnya Ardan kali ini, dia benar-benar ditemani oleh Panji seharian, karena Kakaknya sedang tidak ada kelas. Bahkan ketika Panji menemukan Ardan berada di ruangan bayi, anak itu sempat mengatakan kegiatan kampusnya.
Kali ini Panji tidak akan lagi membuang waktunya untuk makan malam bersama, berhubung ini sudah pukul tujuh malam, Panji berniat akan memesan makanan kesukaan Ardan di salah satu kedai yang tak jauh dari tempat mereka berada.
"Kita makan malam di sini, lo duduk dulu biar gue pesan makanan, jangan pergi ke mana-mana, ngerti?" ucap Panji, anak itu mengangguk, lalu duduk dengan nyaman di tempatnya.
Panji sengaja memilih tempat di sudut kedai tersebut, karena dekat dengan jalanan dengan hiasan lampu taman yang begitu indah yang dapat di lihatnya dari balik jendela bening.
"Huh! Saya muak berada di tempat ini, rupanya ada kamu. Saya pikir setelah saya pergi, kamu akan pergi juga dari sana."
Suara bariton milik Aries memang tidak terdengar oleh Ardan, hanya samar yang berakhir mengudara. Geram yang Aries rasa, pria itu akhirnya menyentuh bahu Ardan dengan begitu kuat sampai anak itu meringis kesakitan.
"Saya sudah bilang, jangan menyusahkan anak saya Panji, kalau kamu tidak ingin saya sakiti seperti ini." bisik yang Aries berikan sama sekali tidak berguna untuk Ardan. Kenyataannya Aries memang tidak pernah tahu kekurangan anaknya sendiri. Walau begitu, Aries tidak peduli.
Pria itu hanya memeberi peringatan ketika ia telah melihat Panji yang datang dengan nampan berisi pesanan mereka. Buru-buru Aries pergi dari tempat itu, lagipula kehadirannya di sana tidak ada artinya, mungkin hanya kebetulan, pikir Ardan saat itu.
Saat Panji datang dan menaruh nampan itu, pandangnya beradu dengan Ardan. Anak itu hanya diam membeku sampai arah pandangnya teralihkan oleh petik jari milik Panji.
"Lihat siapa?" tanya Panji, Ardan menggeleng, anak itu ragu untuk menceritakan apa yang dilihatnya baru saja.
Ardan hanya tidak ingin membahayakan Kakaknya untuk yang kesekian karena telah menolong dirinya. Ardan khawatir jika ancaman Aries menjadi kenyataan.
Tadi, ketika Dokter Thoriq memeriksakan Ardan, beliau mengatakan kalau Ardan harus rutin kontrol minimal sebulan sekali, karena alat bantu yang dipakai Ardan sudah cukup lama bahkan fungsinya sudah mulai berkurang. Hanya saja, Ardan tetap Ardan. Anak itu akan menolak jika harus diajak ke rumah sakit.
Sejak kecil anak itu paling anti dengan gedung putih dan orang-orang yang mengenakan jas putih juga stetoskop yang selalu dikalungkan di leher. Ardan benci semua yang berbau rumah sakit. Namun, masa kecilnya memang selalu berakhir di rumah sakit, bukan karena dia sakit-sakitan, Ardan hanya sering mendapat komsultan dengan beberapa dokter yang menangani psikisnya.
Selama ini, Alsha selalu berusaha membujuk putra bungsunya ketika ada jadwal pertemuan demgan Dokter Melati. Dan berakhir gagal, sehingga Alsha menemukan cara agar putranya tetap bisa mendapatkan perawatan yang maksimal meski tidak di rumah sakit.
Awalnya Panji menentang keras kalau Ardan dibiarkan di rumah dengan situasi rumah yang begitu suram. Setelahnya, Alsha memberi sedikit pengertian pada Panji, barulah cowok itu memahami maksud dari ucapan Alsha.