Tatapan mengintimidasi pria botak itu mampu membuat siapa saja yang berhadapan dengannya akan merasa seperti seorang penjahat yang sedang di interogasi, tidak terkecuali Theo. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari dahi kecilnya saat ia berhadapan dengan pria tersebut. Mengapa ia begitu merasa bersalah, padahal ia hanya ingin melaporkan keberadaan ibunya yang hilang tanpa kabar dalam semalam. Ia akui, pria itu sangat cocok dengan profesinya saat ini.
"Kapan tepatnya kau bertemu atau berkomunikasi terakhir kali dengan ibumu, Nak?" Tanya polisi botak tersebut.
Theo berpikir sebentar untuk mengingat kembali kejadian semalam.
"Mmmm… kurasa sekitar pukul 4 sore kemarin Sir," jawab Theo.
Polisi botak itu kemudian tampak sibuk mengetik sesuatu di komputernya.
"Apa kau memiliki wali lain selain ibumu?" tanya polisi botak itu lagi sambil tetap melihat komputernya.
Theo hanya menggeleng singkat, tanda ia tidak memiliki keluarga lain selain ibunya. Suara tik-tik mesin keyboard menggema lagi di seluruh ruangan menambah ketegangan antara Theo dan polisi botak tersebut. Theo sangat was-was dengan keberadaan ibunya saat ini. Tidak seperti biasanya ibunya itu menghilang tanpa kabar begitu saja. Siapa saja mungkin mengira aksi Theo ini terlalu berlebihan.
"Laporanmu akan kami tindak lanjuti setelah 24 jam, Nak. Karena ibumu termasuk orang dewasa. Jadi, tunggulah sampai jam 4 sore nanti. Jika kau belum bisa bertemu atau berkomunikasi dengan ibumu maka hubungilah kami lagi. Kau bisa pergi, Nak!" Kata polisi botak itu terlihat tidak serius menanggapi laporan Theo.
Mendengar hal itu sebenarnya membuat Theo kecewa. Apa karena ia hanya anak kecil sehingga laporannya dianggap remeh?. Tapi, hal itu tidak membuat Theo menyerah. Anak itu tetap gigih ingin laporannya segera ditindaklanjuti. "Tidak biasanya mommy menghilang tanpa kabar, Sir. Tolonglah, segera selidiki keberadaan mommy-ku?" ujar Theo sedikit memohon.
Petugas botak itu tetap memberikan jawaban yang sama. Ia tetap menyuruh Theo bersabar dan terus mencoba untuk menghubungi ibunya lagi.
Usahanya membolos untuk datang ke kantor polisi ini rupanya sia-sia. Theo tidak sabar hanya dengan berdiam diri menunggu sampai jam 4 sore nanti. Ia sangat yakin jika ibunya saat ini sedang dalam bahaya. Theo duduk terdiam di koridor kantor polisi tersebut sambil memikirkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya. Anak itu mengeluarkan ponselnya dan berkali-kali mencoba menghubungi lagi nomor ponsel ibunya berharap ibunya menjawab di seberang sana. Ditengah keputusasaannya itu, ia tidak sengaja mendengar percakapan dua petugas polisi yang sedang lewat di hadapannya. Satu petugas berkumis tebal dan satu petugas berambut ginger. Theo begitu tertarik dengan percakapan itu, hingga ia tidak sadar sedang mengikuti kedua petugas itu dari belakang.
"Dia selalu menangani semua laporan yang masuk tanpa terkecuali. Bahkan ia sering bertengkar hebat dengan ketua," cerita petugas berkumis tebal itu.
"Wow ternyata seperti itu cerita tentang si 'Detektif Gila Legendaris'. Tapi dimana saat ini detektif itu?" sahut petugas berambut ginger itu.
"Dia sudah mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Kantor ini begitu sepi tanpa detektif itu," jawab petugas berkumis tebal itu sambil melihat langit-langit koridor mencoba mengingat kenangan bersama detektif yang ia ceritakan.
"Kau tahu dimana rumah detektif itu?" suara Theo yang tiba-tiba menyahut membuat kedua petugas itu langsung menengok kebelakang.
Kedua petugas itu hanya tertawa karena menyadari bahwa sedari tadi ada bocah yang menguping pembicaraan mereka.
"Uuuu… lihat siapa yang menguping pembicaraan kita?" kata petugas polisi berkumis tebal itu sambil menyikut lengan rekannya.
Polisi berkumis tebal itu kemudian mensejajarkan pandangannya dengan Theo.
"Rupanya kau juga penasaran dengan cerita detektif itu. Sudahlah Nak, kau tidak perlu tahu mengenai detektif gila itu. Pergilah, kau mungkin sedang dicari oleh orang tuamu!" kata petugas berkumis tebal itu sambil mengacak-ngacak rambut Theo.
Anak itu merapikan rambutnya dengan perasaan kesal. Kedua petugas itu kemudian melanjutkan obrolan mereka tanpa menghiraukan Theo hingga mereka berhenti di depan sebuah mesin kopi otomatis.
"Aku bersungguh-sungguh Sir, dimana rumah detektif gila itu?" tanya Theo secara tiba-tiba. Mendengar suara Theo, membuat petugas itu hampir saja menumpahkan kopinya.
"Kau masih mengikuti kami?" tanya petugas berkumis tebal itu keheranan mengapa anak itu begitu gigih ingin menanyakan rumah detektif itu.
"Sudahlah, beritahu saja anak itu agar segera pergi," kata petugas berambut ginger menyarankan rekannya itu untuk mengalah.
"Baiklah-baiklah Nak, aku akan memberitahu rumah detektif itu. Dia ada di daerah Washington Heights. Dia tinggal di salah satu apartemen disana. Kau bisa bertanya dengan orang-orang di daerah sana. Mereka semua kenal dengan detektif gila itu," ujar polisi berkumis tebal tersebut.
Mendengar hal itu, Theo langsung bergegas pergi. "Terima kasih Sir," teriak Theo dengan senang. Theo kemudian berlari tanpa menghiraukan lagi kedua petugas itu.
"Hey … hey … Nak, kau sungguh pergi kesana!. Hati-hati jangan berlari seperti itu!!!" teriak polisi berkumis tebal itu.
Teriakan petugas itu nyatanya tidak digubris oleh Theo. Ia tidak ingin membuang waktu lagi. Ia harus segera menemukan keberadaan detektif itu.
"Kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu?" Tanya petugas berambut ginger itu.
"Aku tidak berbohong. Detektif itu memang tinggal disana," jawab petugas itu sambil menyesap kopi instannya.
"Dasar polisi gila, daerah itu hampir dipenuhi oleh apartemen. Bisa-bisanya kau menjahili anak kecil. Kurasa semua petugas di kantor polisi ini sudah tidak waras," ujar petugas berambut ginger itu tidak percaya.
Mendengar perkataan rekannya itu membuat petugas berkumis tebal itu menenggak seluruh kopinya.
"Hey … apa katamu?. Kau masih baru disini jaga ucapanmu. Kami bukannya tidak waras, kami hanya ...," kata petugas berkumis tebal itu terputus ingin menjahili petugas berambut ginger itu.
"Hanya sedikit sinting," sambung petugas berkumis tebal itu sambil memperlihatkan senyuman lima watt-nya.
"Aughh … kau sungguh tidak tertolong."
***
Nafasnya tersengal-sengal tatkala ia harus menaiki puluhan anak tangga bangunan ini. Theo menggerutu kesal, bagaimana bisa apartemen lima lantai ini tidak dilengkapi dengan lift, sangat berbeda sekali dengan tempat tinggalnya. Baru kali ini ia melihat apartemen murahan di tengah Kota New York. Setelah beberapa jam berlari-lari mengitari daerah Washington Heights, ia akhirnya berhasil menemukan tempat tinggal si detektif gila itu. Theo mencoba mengatur nafasnya perlahan-lahan sebelum ia akhirnya memencet tombol bel pintu bertuliskan angka 55 itu.
Satu menit
Dua menit
Tiga menit
Pintu apartemen itu tidak kunjung terbuka. Tidak ingin usahanya sia-sia, sekali lagi Theo memencet tombol bel di pintu tersebut.