EVERYDAY IS CHOCOLATE

Febilia revidawati pane
Chapter #1

White Chocolate

Ufhh! Kubanting tubuh lelahku ini keatas tempat tidur yang empuk dan nyaman. Kuangkat kedua kaki yang menempel di dinding kamar bewarna soft blue ini. Kurentangkan kedua tangan sembari kuhembuskan sekuat-kuatnya nafas ini. Yes! Lega rasanya. Kuulangi lagi! Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan secara kuat namun perlahan.

Entahlah! Hari ini, aku begitu lelah. Padahal aku enggak terlalu sibuk. Hanya bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan yang kubeli di warung depan gang rumah untuk Mas Suami. Lalu, menemani Beliau sarapan, membaca koran sambil tak lupa meneguk kopi buatanku. Yup! Kopi buatanku laksana mood booster untuk Mas Suami.

Biasanya, Mas Suami akan menanyakan apa ada keluhan yang ingin kusampaikan, atau apa aku mempunyai perkara hari ini, atau hari ini jadwalku mau kemana saja, hihihi. Ya, aku hampir tidak pernah mengeluh selama 16 tahun perkawinan ini. Banyak suka duka yang kami lewati, tapi Mas Suami adalah sosok bijak yang sangat melindungiku dan selalu membuatku nyaman.

"Nonik, apa ada perkara yang harus kamu hadapi atau ada sesuatu yang kamu takutkan saat ini?" tanya Mas suami dengan sangat lembut.

"Hemm! Selama ada suamiku disini, kayaknya perkara bakalan minder dan berbalik arah, menolak mendekati, karena ada kamu yang selalu siap menjadi tamengku. Iya, kan Sayang." jawabku manja sambil kusandarkan kepala dibahunya.

"Oh, tentu dong. Aku enggak akan membiarkan Nonik bersedih atau menangis. Tenang saja, Nonik. Selama kita berdua saling respek, insyaallah tidak ada perkara hebat yang mampu mendekati kita." katanya lembut sembari mengelus kepalaaku.

Setelah Mas Suami berangkat kerja, otomatis aku sendirian di rumah sebesar ini. Sunyi tanpa mencekam. Hanya celingukan, menatap nanar sekeliling ruangan ini. tanpa ada teman bicara yang menemani. Hemm, seketika siluet Mas Suami terpampang jelas di mataku.

Pria yang bernyali kuat, yang mampu merobohkan dinding angkuh hati ini. Pria terbaik dari sekian banyak pria baik yang sempat berteduh di hatiku. Ya, Mereka hanya berteduh, bukan untuk berlabuh di hati ini.

Lihat selengkapnya