Liv memacu kendaraannya sekencang ia mampu. Pikirannya berkabut dan melompat-lompat tak keruan. Telepon dari Debby–mamanya–telah merenggut paksa konsentrasinya.
“Neo panas, Liv!”
Satu kalimat itu saja sudah meruntuhkan dunianya. Bagi Livana Simphony, Neo adalah segalanya. Mewakili hidup dan mati, kepahitan dan juga kegembiraan dunianya yang kecil.
Liv bisa merasakan keringat dingin mulai bermunculan dari setiap pori-pori yang dimilikinya. Rasa paniknya terus meningkat. Setiap kali Neo sakit, nyawanya terasa ada di ujung tanduk. Dia nyaris tidak bisa melakukan apa pun sebelum buah hatinya itu benar-benar sehat.
“Tiiinnn ... tiiiiinn ...,” suara klakson entah kali ke berapa ditujukan kepadanya. Juga sederet sumpah serapah yang dilemparkan karena dia menyetir sedikit ugal-ugalan. Tujuannya hanya satu, ingin segera tiba di rumah dan melihat keadaan buah hatinya tercinta.
Perjalanan yang terasa sangat panjang itu pun akhirnya berakhir sudah. Saat tiba di halaman rumahnya, blus katun Liv sudah basah kuyup. Padahal, dia menyalakan AC sepanjang perjalanan. Dengan gerakan nyaris terbang dia melayang masuk ke dalam rumah. Bahkan, perempuan berusia tiga puluh tahun itu nyaris tersandung sepatunya sendiri.
“Ma, Neo mana?” tanyanya panik. Liv melemparkan tasnya begitu saja ke arah sofa. Dia bahkan tidak peduli andai isinya berhamburan atau ponselnya menghantam lantai.
“Sstt ....” Mama memegang bahunya. “Jangan pernah panik di depan anak karena mereka bisa merasakannya. Tarik napas dalam-dalam,” perintahnya lagi. Liv menurut hingga dirasanya dada tak lagi terlalu sesak. Setelahnya, dia masuk ke kamar Neo.
Putra tercintanya yang tampan itu sedang terbaring di ranjang dengan kepala dikompres. Begitu melihat Liv, Neo langsung bangkit dan menyingkirkan kain di keningnya.
“Ma ...,” tangannya menggapai Evi, pengasuh Neo, mengulurkan tangan ingin menggendong, tetapi lelaki kecil itu mengabaikannya.
Liv segera menyambut tangan mungil yang terasa lebih panas daripada yang seharusnya itu. Setelahnya, dia mendekap tubuh Neo dengan keharuan yang nyaris membutakan mata. Air mata menetes tanpa bisa ditahan. Liv mati-matian menahan suara isaknya.
Setelah diam-diam mengeringkan pipinya, Liv melepas pelukannya. Dia mengusap wajah anaknya sambil mencoba melukis sebuah senyum di bibirnya. Semoga Neo tidak melihat ini sebagai senyum pahit, doanya dalam hati. Neo tersenyum layu.
“Kita sebentar lagi ke dokter, ya? Neo ganti baju dulu sama Mbak Evi, Mama mau mandi sebentar. Bisa?”
Anak itu mengangguk setuju. Liv berjalan cepat ke arah lemari pakaian dan memilihkan baju untuk Neo. Dia juga meminta Evi menyiapkan beberapa baju sebagai persediaan. Setelah mencium kening Neo sekilas, Liv bergegas ke kamarnya.
Liv melakukan semuanya dengan gerakan serbacepat. Mulai dari mandi, berganti baju, hingga membubuhkan bedak. Liv bahkan merasa tidak perlu membubuhkan lipstik atau mengenakan maskara. Cukup pelembab dan bedak padat. Pakaiannya pun sederhana. Kaus nyaman berwarna karamel tanpa gambar apa pun dan celana jin pendek.
Di ruang tengah Liv mengambil tas dan memeriksa isinya. Dompetnya terisi uang yang cukup sehingga dia tidak perlu mampir ke ATM di perjalanan ke dokter nanti.
“Sudah telepon dokternya?” tanya Mama yang baru keluar dari kamar cucunya. Neo ada di gendongannya.
Liv mengangguk sambil menyampirkan tas ke bahunya. Dia lalu meraih Neo ke dalam pelukannya.
“Tapi, tidak diangkat. Jadi, sepertinya akan mendapat giliran belakangan,” keluhnya.
“Apa tidak sebaiknya mencari dokter lain saja?” usul Mama, memandang khawatir kepada Neo yang sedang menempelkan kepalanya ke bahu sang ibu. Liv menggeleng.
“Neo belum ketemu dokter yang cocok selain dokter yang ini. Aku tidak mau ambil risiko, Ma,” tutur Liv.
Evi sudah keluar dari kamar dengan membawa sebuah tas yang berisi keperluan Neo.
“Kamu tidak makan dulu? Sedikit saja ....”
Siapa yang sanggup menelan makanan dalam situasi seperti ini? Liv akhirnya menggeleng.
“Ma, aku pergi dulu, ya? Doakan semoga Neo tidak apa-apa,” pintanya. Mamanya mengangguk.