Everything For You

Bentang Pustaka
Chapter #3

Chapter 2

“Cemburu itu merupakan tanda dari hati yang mencinta.” Itulah yang diyakini oleh masyarakat awam. Itu juga yang dipahami Liv. Dia tidak pernah merasa keberatan dengan kekasih yang pencemburu. Ya, tentu saja sepanjang perasaan cemburu itu masih bisa dimaklumi.

Livana Simphony merupakan perempuan yang sudah memiliki pesona dalam darahnya. Liv tidak perlu mengandalkan pakaian untuk menjadi magnet bagi kaum laki-laki.

Bertubuh lumayan tinggi—sekitar 167 sentimeter—Liv tidak pernah memiliki masalah berat badan. Bahkan, kelak setelah dia melahirkan Neo. Kulitnya kuning langsat, rambut legam lurus, dan biasa dibiarkan hingga melewati bahu, serta sikap yang hangat.

Bagaimana dengan wajahnya? Berhidung lancip nan kecil, bibir mungil tetapi penuh, wajah berbentuk hati, mata yang ekspresif, alis rapi, serta pipi yang agak tirus. Semua itu masih ditambah dengan senyum tulus yang selalu terasa menghangatkan hati.

Wajar kalau Liv banyak disukai kaum lelaki. Ia pun dipandang penuh iri oleh kaum wanita, seakan menjadi ancaman yang lebih berbahaya daripada kusta. Sebenarnya, Liv tidak pernah berusaha memanfaatkan kelebihan fisiknya untuk memikat siapa pun. Toh, dalam beberapa kesempatan dia cukup kewalahan menampik perhatian dari lawan jenis. Namun, Liv cukup selektif dan tak mudah jatuh cinta.

Liv berasal dari keluarga biasa-biasa saja dan memiliki dua orang saudara kandung. Kakak sulungnya, Troy, meninggal karena kecelakaan motor saat Liv masih SMP. Sementara adiknya, Melly, lebih muda hampir lima tahun dari Liv. Penampilannya tak kalah menawan dari sang kakak. Ayah Liv sudah meninggal, empat tahun sebelum kematian Troy, sedangkan ibunya adalah seorang guru di SMU swasta.

Sejak muda, Liv sudah terbiasa bekerja untuk meringankan beban Sang Mama. Aneka pekerjaan pernah ia lakoni. Mulai dari bekerja paruh waktu di toko roti, butik, hingga memberikan les privat. Apa pun itu, yang jelas Liv sangat senang jika orang-orang menghargai dirinya tanpa harus menilai fisiknya. Dia suka kalau orang lain bisa menerima fakta bahwa di balik wajah cantik seseorang juga tersimpan otak yang cemerlang.

Pada masa remaja hingga nyaris sarjana, Liv beberapa kali memiliki pacar. Namun, semuanya tidak ada yang benar-benar serius. Memiliki kekasih adalah salah satu pelengkap untuk melewati masa remaja, begitu kira-kira pendapat Liv. Hingga menjelang kelulusannya, dunia Liv menghadapi perubahan besar. Dia bertemu dengan Desmond Himalaya, lelaki yang berasal dari keluarga kaya dan kebetulan tidak kalah tampan dibanding bintang layar lebar.

Desmond lebih tua dua tahun dibanding Liv. Saat itu, Desmond sudah punya kedudukan yang mapan di sebuah perusahaan properti. Perusahaan raksasa yang menjadi milik keluarganya. Mereka bertemu di sebuah acara malam dana yang diadakan kampus Liv. Pada detik ketika Desmond menatap Liv, tidak ada lagi yang bisa mencegah ketertarikan lelaki itu kepada sosok Liv.

Singkat kata, Desmond pun mengejar-ngejar Liv dengan terang-terangan.

Tidak ada yang meragukan kecocokan—terutama secara fisik—di antara keduanya. Desmond dan Liv adalah dua manusia yang mampu menimbulkan gelombang iri massal. Sama-sama memiliki keindahan ragawi yang membuat orang mendecakkan lidah.

Desmond lebih tinggi daripada Liv sekitar sepuluh sentimeter. Tubuhnya atletis, terbentuk dari kegemarannya berolahraga rutin. Desmond memiliki kulit coklat, dagu yang menegaskan garis wajah yang berkarakter, hidungnya sedang, tulang pipinya tinggi, alis tebal, mata yang bersinar tajam, serta rambut bergelombang dengan potongan trendi.

Pada malam perkenalan mereka, Desmond langsung mengambil langkah untuk menjerat Liv.

“Maaf, bolehkah aku mengantarmu pulang?” tanyanya saat Liv sudah bersiap untuk meninggalkan acara malam dana. Rumahnya yang agak jauh ditambah harus menumpang kendaraan umum membuat Liv diberi kelonggaran untuk pulang lebih awal ketimbang teman-temannya.

“Ya?” Liv menatap lelaki di depannya dengan kening bertaut. “Anda bicara kepada saya?”

Desmond tertawa geli. “Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Desmond,” tanyanya terulur. Liv menyambutnya dengan ramah. Beberapa teman Liv yang menyaksikan itu mulai berbisik-bisik. Liv tahu, lelaki di depannya adalah salah satu makhluk paling tampan di acara ini.

“Saya belum mendengar nama Anda,” Desmond mengingatkan dengan suara lembut.

Oh, sial! “Saya Liv,” balasnya.

“Liv Tyler?” gurau Desmond.

“Livana.”

“Oh. Liv, saya ingin mengantarkanmu pulang. Bolehkah? Saya agak ... bersikeras,” katanya.

Liv terpana. Lelaki ini pasti terbiasa dituruti semua keinginannya. Ya, dengan wajah setampan itu dan pakaian mahal yang menjelaskan asal-usulnya, tidak ada yang mau repot-repot menyakiti hatinya dengan sebuah penolakan, bukan? Namun, itu bukan Liv.

“Maaf, saya belum mengenal Anda. Saya tidak ....”

“Saya Desmond. Kita tadi sudah berkenalan,” guraunya. Liv tersenyum juga mendengar candaannya.

“Tapi, tidak cukup untuk menjadi modal mengantar saya. Maaf, ya, saya harus buru-buru.”

Liv lalu berjalan cepat setelah memberikan anggukan sopan kepada Desmond. Baru kali ini lelaki itu mendapati dirinya ditolak meski dengan sopan. Dia berusaha menjajari langkah Liv dan memberi beberapa bujukan. Namun, Liv ternyata bisa digolongkan sebagai salah satu manusia paling keras kepala yang masih hidup di dunia ini.

Malam itu Desmond memang gagal, tetapi hal itu tidak membuatnya menyerah. Dia lalu mencari informasi yang cukup banyak dari pihak panitia mengenai Liv. Tidak sampai lima belas menit kemudian, data diri Liv sudah berada di dalam genggamannya.

Desmond terus “memburu” Liv. Berusaha memesona Liv dengan beragam cara. Membuat gadis itu merasa diistimewakan. Hingga empat bulan kemudian Desmond dan Liv menjadi pasangan kekasih yang saling memuja, membutuhkan, dan melengkapi.

“Kamu itu terlalu bodoh, Des! Kamu yang begini tampan malah memilihku. Mulai sekarang, jangan harap aku akan melepaskanmu hidup-hidup!” gurau Liv berkali-kali.

Desmond merasa geli dan tidak berusaha menyembunyikan hal tersebut. “Aku juga tidak mau dilepaskan olehmu, Liv. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu.”

Liv kadang merasa semuanya bagai mimpi. Jauh di lubuk hatinya ada perasaan tidak percaya bahwa dia sedang mengecap kebahagiaan ini. Desmond memiliki segalanya yang disyaratkan oleh dunia untuk menjadi pujaan para perempuan dari peradaban mana pun. Tampan, berduit, memiliki pekerjaan mapan, dan tentu saja kekasih yang memanjakan. Tak kalah hebatnya lagi, Desmond adalah pria yang setia.

Itu sebuah kombinasi yang langka sekaligus mematikan, bukan?

Manusia tidak ada yang sempurna, itu pasti. Hanya saja, sangat sulit menemukan kualitas itu pada diri satu orang pria. Liv merasa kadang dia sedang berkelana dan tersesat di gelembung mimpi yang terlalu indah untuk menjadi nyata.

“Liv, kamu butuh ini, kan?”

Suatu ketika Desmond berkunjung ke rumah Liv dengan segepok buku yang menjadi pendukung skripsinya. Buku-buku itu sulit dicari dan Liv sudah berusaha sekuat tenaga untuk menemukannya. Dia bahkan nyaris putus asa dan terpikir untuk mengganti judul skripsi. Namun, tiba-tiba saja Desmond datang dengan semua buku itu. Seperti sihir.

Lihat selengkapnya