Langit cerah kala malam bulan purnama, seyogianya menjadi satu waktu yang penuh suka cita dan juga mengantar perasaan syahdu. Bayang-bayang malam yang membias di permukaan bumi, serasa berharmonisasi dengan keteduhan, ketenangan, serta kedamaian. Jika saja sang alam memiliki wajah, ia seakan-akan sedang tersenyum pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Seperti gambaran para penyair masa lampau, tentang para bidadari yang mandi di bawah kucuran air terjun dalam kemilau cahaya rembulan.
Tetapi..., tidak pada malam purnama kali itu.
Tatkala waktu bergulir menjelang tengah malam, cakrawala cerah nan teduh terpaksa menjadi saksi dari sebuah peristiwa yang penuh noda.
Di sebuah kampung, tepatnya di pinggir lapangan voli dekat balai desa, seorang pria setengah baya melangkah dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya gemetar. Kepalanya celingukan mengamati area sekitar, namun tak ada satu orang pun yang ia lihat.
Pria itu terus berjalan menuju sebuah bangunan usang seperti bekas gudang. Berjarak sekitar dua puluh meter dari lapangan voli. Jalannya menunduk-nunduk. Wajahnya tampak pucat dengan bulir-bulir keringat merayap di keningnya.
Di muka bangunan, dua orang laki-laki tampak berbincang. Seorang dari mereka tengah memainkan sebilah parang. Melihat orang yang ditunggu telah tiba, mereka pun bergegas mendatanginya.
Sang pria merasa amat takut hingga menundukkan badan saat mereka berhadap-hadapan.