“Apakah pasangan dari api?”
Terkadang seseorang bertanya pada dirinya sendiri. Seperti Duljana yang tengah duduk santai di kursi ruang tamu. Minum teh sambil menikmati deras hujan yang memandikan permukaan bumi.
“Apakah air? Asap? Panas? Bara? Minyak? Ranting? Atau bahan yang terbakar?” lantas menjawabnya sendiri, bahkan dengan pertanyaan lagi.
Sorot pandang pemuda berusia sembilan belas tahun itu mengambang ke langit-langit ruang tamu, lalu menengok pada jam dinding yang menunjukkan pukul 15.25.
Ia kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di samping cangkir teh, memperhatikan beberapa nama kontak yang tertera pada layar ponsel. Raut wajahnya pun tersenyum, melihat daftar kontak yang berhubungan dengannya hanya berjumlah beberapa orang saja.
Pasangan yang ia maksud dalam pertanyaannya tadi adalah seorang teman. Pemuda itu tidaklah mempunyai banyak teman, apalagi teman yang bisa menjadi sahabat. Tidak sama sekali.
Padahal bisa dipastikan, jika Duljana adalah orang yang memiliki sifat baik. Perkara kejujuran tidak perlu diragukan, perihal janji sudah pasti ia tepati, urusan amanah tiada seorang pun yang sangsi. Namun ia merasa belum menemukan teman yang seirama di wilayah tempat tinggalnya. Selalu ada saja hal-hal yang membuat hubungan pertemanannya menjadi tidak langgeng. Dari permasalahan tentang ego pribadi, sifat buruk, rasa gengsi, mispersepsi, perbedaan pendapat, sampai banyak kejadian lain yang membuat feel pertemanan benar-benar hilang.
Sesuai pertanyaan barusan yang jawabannya belum juga ia dapatkan. Duljana mengibaratkan dirinya adalah api. Api menurutnya bisa berpasangan dengan apa pun tergantung kondisi dan persepsi. Karena itulah pemuda itu cukup kesulitan dalam mencari seorang sahabat. Bukan berarti ia memilih-milih untuk bergaul dengan siapa. Ia justru pribadi yang ramah dan terbuka pada siapa saja, biarpun tidak ada teman yang menganggap keberadaan dirinya.
Yah…, anggaplah Duljana ditakdirkan hanya dapat berteman dengan orang baik saja. Tidak bagi mereka yang bermasalah.
Pada dasarnya, yang merupakan pasangan adalah sesuatu yang berlainan jenis. Yin dan Yang. Namun dalam persepsi Duljana tidaklah demikian. Menurut pemuda itu pasangan adalah sesuatu yang menjadi persamaannya, atau sesuatu yang lekat dengannya. Misal suami-istri. Jika sang suami adalah orang baik, maka pasangannya, istrinya, juga pasti adalah orang yang baik. Begitu juga sebaliknya, sifat buruk akan bertemu sifat buruk. Atau pasangan dari bulan, sama-sama merupakan benda langit malam, yaitu bintang. Pasangan dari surga menurut Duljana bukanlah neraka, melainkan orang-orang yang bertakwa.
Jadi, pola pikir Duljana memang agak membingungkan. Mungkin itu adalah salah satu penyebab, dirinya kesulitan mencari teman yang bisa selaras.
“Kamu berangkat jam berapa, Dul?”
Sukaesih — 53 Tahun — bertanya sambil melangkah dari dalam, kemudian duduk di depannya, membelakangi pemandangan hujan yang terlihat dari jendela.
“Kalau hujan udah reda, Duljana berangkat kok, Bu,” jawab pemuda itu seraya meletakkan ponsel ke meja.
“Oh…, iya, nanti kalau kamu ketemu sama Mas Ade, tolong ceritakan hal ini yah.” Sang ibunda menggeser badan ke depan. Duljana mengerutkan dahi. Matanya terlihat polos dan bersih.
“Cerita apa, Bu?” tanyanya.
“Kamu tahu tante Lastri?” wanita bertubuh langsing itu mengawali cerita dengan bertanya.
“Hmmm, tante Lastri yang di Pondok Bambu?”
“Iya.”
“Kenapa, Bu?”
“Sekitar, setengah tahun yang lalu, bapaknya tante Lastri kan meninggal. Sejak saat itu, satu per satu anggota keluarganya pun meninggal setiap waktu empat puluh hari. Bisa dibilang keluarga dia itu kayak diteror sama makhluk gaib, Dul,” tuturnya dengan raut wajah getir.
“Hah! Masa sih, Bu?” ujar sang anak tak percaya.
“Iya, bener. Sudah empat orang anggota keluarganya yang meninggal.”
Duljana diam sejenak. Dalam benaknya menduga, tiada mungkin apabila peristiwa yang diceritakan ibunya itu hanyalah sebuah perkara kebetulan belaka. Sebab yang namanya kebetulan bisa datang hanya dua kali, maksimal sampai tiga kali. Tetapi ia jelas mendengar bahwa jumlah keluarga yang meninggal sebanyak empat orang.
Ibu Sukaesih tampak sedih. Pikirannya tertuju pada apa yang terjadi pada keluarga besar Lastri. Duljana tentu paham akan rasa kepedulian ibunya yang berpikir bahwa ada yang tidak beres dengan kejadian tersebut. Namun pemuda berkulit cokelat tua itu tetap ingin berpikir secara logis.
“Ah, namanya berita tuh suka dilebih-lebihkan, Bu.”
“Dul..., ibu dengar dari mulut suaminya, tiga hari yang lalu,” balas ibu Sukaesih dengan sikap dan gaya bicara serius.
“Iya, iya. Nanti Duljana cerita,” gumam sang anak, bersandar pada punggung kursi.
“Iya, jangan sampai lupa yah,” pintanya dengan tatap mata penuh harap, agar Duljana segera menceritakan peristiwa tersebut pada Mas Ade. Menurutnya, seseorang yang akan didatangi oleh anaknya itu adalah orang yang mampu menolong masalah yang tengah dihadapi oleh keluarga Lastri. Keluarga di mana ibu Sukaesih sewaktu masih muda mencari nafkah di rumahnya.
Satu tetes air mata pun mengalir di pipi wanita berambut ikal dengan daster cokelat muda itu.
“Bu…” Duljana langsung turun dari kursi, berjongkok sambil memegang kakinya.
“Ibu kasihan sama dia, Dul. Sudah seminggu ini dia masuk rumah sakit. Kemarin ibu hanya bisa lihat dia berbaring,” desisnya, seraya menyeka air mata.
“Sebulan yang lalu, adiknya dia yang meninggal. Ibu takut apabila nanti tante Lastri yang meninggal.”
“Iya, Bu, doakan saja biar tante Lastri lekas sembuh. Nanti Duljana ngomong sama mas Ade,” ucapnya berusaha menenangkan, sembari memandang sayang pada wajahnya.
“Kalo gitu Duljana berangkat sekarang deh.” Pemuda semata wayang itu langsung berkata lugas.
“Masih hujan, Dul, nanti aja.”
“Gak papa, Bu, Duljana bawa payung kok.” Ia melangkah ke kamar untuk mengambil jaket, dompet dan payung. Tak lama ia pun kembali.
“Duljana berangkat, Bu,” kemudian menggapai tangan ibunya. “Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Dul, salam sama mas Ade,” balas ibu Sukaesih.
Duljana lalu membuka pintu rumah dan berdiri di muka pintu sambil memegang payung berwarna silver. Rintik air yang berhamburan dari langit memang cukup lebat.
Sejenak kemudian, pemuda itu langsung meletakkan payung di sudut pintu, seraya berlari menerjang hujan.
“Dul.” Ibu Sukaesih memanggil, tetapi Duljana sudah tidak terlihat.
“Dasar...,” senyumnya hadir karena mengerti, sang anak merasa risi jika harus membawa payung. Namun aneh, tak lama setelah itu, curah hujan yang cukup lebat berangsur-angsur mereda dan berubah menjadi gerimis.
Rintik hujan yang turun, bagai musik syahdu di kala mengembara dalam diam. Menetes lagi membasuh jiwa-jiwa yang merenungkan sedikitnya kebaikan Sang Pencipta pada semesta dan isinya.
Dengar... dengarkanlah...
Mendengar itu dapat membuatmu sejenak menikmati hidup, atau mungkin dapat membelai kerasnya kehidupanmu.
***