Ungkapan ‘Jasmerah’ atau ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’, sebenarnya tidak hanya berkisah tentang sejarah kemerdekaan Indonesia saja. Tetapi juga berkisah tentang sejarah diri dari setiap manusia.
Ketika seseorang melakukan sesuatu pada masa lampau, kemudian menjadi sejarah di masa sekarang. Melakukan sesuatu pada masa sekarang, pasti kelak menjadi sejarah di masa depan.
Perang Dunia II adalah tragedi kemanusiaan yang banyak menyisakan kisah pilu di masa lalu. Kisahnya akan selalu melahirkan cerita-cerita yang berkesinambungan. Tentang darah, tangis, ambisi, kemenangan, kejahatan, kekejaman, kepahlawanan, konspirasi, juga tentang misteri yang akan terus tercatat dalam sejarah umat manusia.
Apakah mungkin nafsu dan ego yang bersumber dari rasa ketidakterimaan segelintir pihak, dapat menjadi akar kuadrat yang menghasilkan berjuta kisah yang bersumber dari sana?
Alkisah pada masa Perang Dunia II, jaman penjajahan Jepang di Indonesia, terdapatlah sebuah peristiwa tragis yang menimpa salah satu keluarga di daerah Jawa Timur. Berawal dari kepala keluarga yang diduga sebagai mata-mata, oleh agen rahasia dari Negeri Sakura yang tengah berkuasa kala itu. Kepala keluarga tersebut kemudian ditangkap dan divonis hukuman mati.
Tak hanya sampai disitu, tentara perang dari pihak Jepang pun membantai seluruh anggota keluarganya. Hanya ada satu anggota keluarga yang selamat, yaitu seorang pria berusia 38 tahun. Ia selamat dari kejadian karena sedang tidak ada di lokasi saat terjadi pembantaian. Sedangkan, anak dan istrinya juga ikut wafat di hari yang sama.
Satu per satu anggota keluarganya wafat dengan cara yang amat mengenaskan. Di dalam rumah mereka sendiri, dengan bagian-bagian tubuh yang lepas dari persendian tanpa adanya perlawanan yang mampu mereka upayakan.
Peristiwa kelam pada waktu malam tersebut menyisakan luka batin yang sangat mendalam pada diri pria itu. Si-pria berpikir, bahwa Tuhan tak punya sifat pengasih dan penyayang kepada umat-Nya. Ia juga merasa diri sama sekali tidak berguna ketika mengingat peristiwa itu. Hari-hari yang ia lalui penuh dengan kehampaan, ratap tangis dan kutukan. Menyisakan dendam berkepanjangan kepada para Rikugun dari Dai Nippon yang tak kenal belas kasihan.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia adalah tanah yang paling sentosa di muka bumi. Angin yang berhembus tenang dan menyenangkan, seperti napas syurga dalam keabadian yang hakiki. Air yang mengalir begitu banyak, jernih, segar, lagi baik bagi tiap-tiap makhluk hidup yang membutuhkan. Tanah tempat hidup manusia dan semua yang tumbuh di atasnya, tiada kurang dari kasih sang alam yang telah diberikan. Terasa sempurna tanpa cacat yang hinggap dari padanya.
Atas dasar itulah tanah Indonesia sedari dahulu sampai sekarang senantiasa diperebutkan olah semua bangsa-bangsa di dunia.
Kembali pada cerita. Pemuda yang hendak menuntut balas itu akhirnya datang ke sebuah tanah keramat di wilayah paling timur pulau Jawa. Di sana ia melakukan sebuah ritual untuk memanggil dan menyerahkan jiwanya pada raja iblis, dengan harapan, mendapat ilmu kanuragan yang tiada tanding, tiada banding.
“Apa yang kau perlukan, hai manusia?” suara seseorang menggema dalam gelapnya sebuah gua. Tanda dimulainya sebuah perjanjian.
“Aku... aku, ingin menjadi orang yang paling sakti. Sampai tidak ada lagi siapa pun yang bisa berbuat zalim kepadaku dan keluargaku,” jawab pria itu.
“Kau sanggup menerima semua yang terjadi padamu dan keturunanmu?” dalam kepekatan, timbul secercah cahaya hijau gelap yang mewujud menjadi sesosok makhluk.
“Apa pun syaratnya aku akan menyanggupi,” ujarnya. Percakapan pun terhenti.
Di dalam satu alam yang tidak ada matahari dan bulan. Tidak ada tanah dan air. Tak ada pohon dan rumput. Hanya ada satu ruang kosong, seperti sebuah aula besar yang terlihat samar dan kelam. Seberkas cahaya hitam merasuk ke dalam tubuh pria itu, menyatu dengan dirinya melewati aliran darah dan pembuluh nadi.
Dua tahun pun berlalu dengan banyaknya tentara Jepang yang sudah ia bunuh. Secara kebetulan, pada waktu yang sama, negeri Indonesia dihadiahkan kemerdekaan oleh Tuhan. Para penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia, 17 Agustus 1945.
Tapi apa yang terjadi pada pria itu saat dendamnya merasa terbayar?
Dia berjalan seolah-olah menguasai dunia. Siapa saja yang berurusan kurang baik dengannya harus membayar mahal dengan nyawa, atau dengan kematian dari orang-orang yang mereka sayangi. Tak peduli dari suku apa, dari agama apa, dan dari golongan apa. Tak peduli ia kenal atau tidak kenal. Lewat cara fisik atau metafisik. Lewat pertumpahan darah atau sihir di tengah malam. Semua dapat dilakukan oleh laki-laki itu.
Ilmu yang melekat pada dirinya digunakan semata untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya saja. Ilmu tersebut telah membuatnya lupa akan hakikat hidup dan kehidupan.
Seiring perjalanan waktu, laki-laki itu tak kuasa mendidik anaknya dengan sentuhan kebaikan. Keenam anaknya bersifat jahat, kejam, egois, oportunis, serakah dan senantiasa menuhankan dirinya sendiri.
Sang waktu juga tidak pernah berbohong atas masa hidup seseorang. Laki-laki itu pun menjadi seorang tua renta, dan harus menurunkan ilmu itu pada salah seorang di antara anaknya. Wajib. Itulah perjanjian dengan raja iblis kala dahulu, di samping tidak bolehnya melakukan ritual keagamaan.
Anak pertama dari laki-laki itu bernama Warmo, yang dengan senang hati menerima warisan ilmu dari sang ayah.
Singkat cerita, ketika Warmo telah menguasai ilmu itu, tahun ke tahun dalam hidupnya dipenuhi oleh kejahatan, kekejian, juga penyimpangan dari segala norma-norma yang berlaku. Menghalalkan segala cara demi hasrat, ego, ambisi dan nafsu belaka.
Sampai suatu ketika, kala dirinya merasa sudah tua, dia harus menurunkan ilmu itu pada salah seorang di antara anaknya. Namun naas, anak-anaknya tidak ada yang mau menerima ilmu warisan tersebut.
Dan dari pria bernama Warmo inilah masalah dimulai.
‘Braaaaakkk’...
Suara dentuman putra sulung mbah Warmo ketika tubuhnya menghantam lemari besar di ruang tengah.
‘Praaangg’...
Suara kaca dan pajangan keramik jatuh berserakan di lantai.
Tengkuk kepala anak pertamanya itu tergores oleh pecahan kaca, meneteskan darah segar, mengalir di leher.
“Pak... tolong kami, Pak. Mengertilah, Pak...” pekik seorang wanita, menangis sambil memegangi pergelangan kaki bapak mertuanya yang sedang berdiri tegak.
“Tolong, Paaak,” rintihnya, dengan wajah memelas.
Sekejap kemudian, Lastri — 41 Tahun — datang dari ruang depan dan langsung memegang tangan ayahnya. Ia merupakan anak ketiga, satu-satunya anak perempuan dari mbah Warmo,
“Bapaaak... mohon ingat, kami semua adalah darah dagingmu,” ujarnya dengan badan condong ke depan dan wajah yang juga memelas. Sang ayah yang sudah berusia sepuh tersebut langsung menatap tajam padanya.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir coklat tua kehitaman itu. Hanya embusan napas penyerta suasana hati yang bergejolak kuat yang tampak. Ia kemudian menengok pada putra sulungnya yang tengah menahan rasa sakit, duduk sambil memegang tengkuk kepala.
“Detik ini, kamu bukan anakku lagi!” Tangan kanan mbah Warmo menunjuk-nunjuk padanya. Sorot matanya benar-benar bengis. Rasa murka tampak pada gurat wajah, kening, urat leher, serta tubuh yang sedikit bergetar.
Laki-laki tua itu kemudian berbalik badan, melangkah menuju kamar. Meninggalkan mereka yang tertegun juga merasa terpukul.
Kejadian itu disaksikan oleh Bram Pujianto — 44 Tahun — yang merupakan suami dari Lastri, sekaligus menantu dari mbah Warmo. Namun Bram hanya bisa menyaksikan saja tanpa mampu berbuat atau pun berkata apa-apa.
Bram menyandarkan punggungnya di kursi ruang tamu. Pandangan matanya mengawang seperti orang yang teramat bingung. Menghirup napas panjang seraya melihat wajah kakak iparnya, Eko Nugroho yang tengah menahan rasa sakit. Istrinya sedang memberikan salep dan perban di tengkuk kepala pria berusia empat puluh lima tahun itu. Luka karena pecahan kaca.
Bram terus mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Sejak awal, pria tampan berkulit kuning itu memang ikut terlibat pembicaraan antara bapak mertua dengan kakak iparnya.
“Aku… Warmo… pantang ditolak oleh siapapun!” suara mbah Warmo meninggi, hingga terdengar merambah seisi ruang tengah yang berukuran cukup besar.
“Kau berani-beraninya menolak permintaanku?!” hardiknya dengan sorot pandang mendelik, tertuju pada sang anak.
Bram Pujianto sebenarnya ingin sekali menjadi penengah dalam kejadian tadi. Badannya sudah bersiap untuk bangun, guna membujuk bapak mertuanya agar menahan amarah. Namun ia takut dan memilih diam di tempatnya duduk. Bukan apa-apa, ia tahu akan ilmu yang dimiliki mbah Warmo. Tidak berani menghadapinya, dan hanya sesekali melirik pada kakak iparnya yang terdiam sambil menunduk.
“Aku tanya sekali lagi pada kamu, Eko. Angkat wajahmu,” seru mbah Warmo. “Apa kamu bersedia menerima ilmu ini?”
Eko Nugroho menghirup napas panjang, kemudian mengangkat kepala.
“Aku lebih memilih mati, daripada Bapak menurunkan ilmu itu padaku,” jawabnya, dengan tangan memegang tangan istrinya yang begitu gelisah menahan rasa takut.
Mendengar jawaban tersebut, laki-laki tua renta itu termangu. Tak lama kemudian ia mengangguk-angguk dengan sorot mata yang tampak berpikir dalam.
“Berdiri kamu,” ujarnya.
Eko Nugroho terus memandang pada wajah ayahnya, kemudian berdiri. Lelaki tua berkemeja hitam pekat itu langsung mengibaskan tangannya ke udara.
‘Braaaaakkk’...
Seketika itu juga tubuh putranya langsung terpental menghantam lemari besar yang berjarak empat meter.
‘Praaangg’...
Suara kaca dan pajangan keramik jatuh berserakan di lantai. Ilmu telekinesis tingkat tinggi mbah Warmo aktif ketika si-empunya memerintahkan.
Wanita yang duduk di depan Bram segera beranjak, memohon sambil menangis dan memegang pergelangan kaki bapak mertuanya yang tengah berjalan mendekat pada sang suami.
Setelah itu Lastri pun datang.
“Sudah, Bram, enggak usah dipikirin,” tangan Eko Nugroho menepuk pundaknya, membuyarkan laju pikiran yang tengah membayang. Bram lalu menengok tanpa berkata apa-apa.
“Saya pasrahkan semuanya sama Allah, meskipun saya harus menebus dengan nyawa saya,” sambung pria berbadan gempal rambut ikal dengan janggut panjang itu.
Bram mengangguk dengan pandang kosong seraya tersenyum. Setelah itu ia beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Lastri sedang duduk melamun.
“Gimana ya? Mas Eko bilang lebih rela mati, ketimbang mewarisi ilmu bapak,” ucapnya pada sang istri.
“Aku sungguh bingung, Mas. Sejak dulu mas Eko selalu beda keyakinan sama Bapak. Mas Eko menganggap, ilmu yang bapak punya itu jauh dari tuntunan agama. Dan memang, ilmu bapak itu merupakan ilmu hitam, Mas,” gumam perempuan bertubuh langsing itu.
“Aku tahu. Tapi aku juga bingung mengenai hal ini. Kita enggak bisa berbuat apa-apa,” ujar Bram.
“Sampai kapan, Mas? Sampai kapan masalah ini akan berakhir? Sampai salah satu dari kita ada yang mati?” Lastri menatap getir. Dari kedua sudut matanya mengalir air mata. Ia lantas bersandar pada tubuh Bram.
***
Sepulang kerja, pukul 18.40, Bram Pujianto duduk di kursi teras sambil merokok. Pria itu masih mengenakan kemeja, sepatu dan celana panjang. Kepalanya mendongak, kedua kaki lurus ke lantai. Sebelum masuk rumah, ia ingin menenangkan diri sambil melihat kucuran air terjun buatan yang jatuh ke kolam hias.
Bram adalah orang yang berpikiran bebas, pintar, dan merdeka. Semenjak masa remaja ia sudah menjadi orang yang tekun. Tetapi tetap saja, fase ekonominya tidak bisa dikatakan cukup kalau pada awalnya bukan berasal dari keluarga Warmo. Atau bisa dikatakan, kehidupannya meningkat drastis saat menikahi Lastri.
“Huff...”
Kepulan asap tembakau keluar dari mulut Bram. Bola matanya menerawang, berpikir keras mengenai masalah yang terjadi.
Sudah lima hari mbah Warmo tidak pernah keluar dari kamar, pascaperistiwa penolakan dari sang putra sulung yang berujung tindak kekerasan. Tiga hari pertama, Bram atau pun Lastri belum menaruh perasaan curiga, sebab mereka paham jika sosok ayahnya itu memang seorang yang kuat dalam menjalankan ritual kanuragan, seperti bertapa atau menyepi. Tetapi pada hari keempat dan kelima, benak mereka sepakat merasakan sesuatu yang ganjil di balik berdiam dirinya sosok sang ayah.
Mereka berdua penasaran, tetapi takut untuk memanggil atau mengetuk pintu kamarnya. Bagi keluarga Warmo, itu adalah sebuah hal yang cukup tabu.
Lastri juga sudah beberapa kali menghubungi kakaknya, Eko Nugroho, dan adiknya, Nanda Prakoso. Memberi tahu perihal ayah mereka yang terus mengurung diri di dalam kamar. Namun sangat disayangkan, kedua saudara laki-lakinya itu bersikap skeptis, bahkan apatis. Ketika terjadi masalah, mereka tidak menyelesaikannya hingga benar-benar tuntas.
Mbah Warmo memiliki lima orang anak. Empat orang anak laki-laki dan satu orang perempuan. Pertama Eko Nugroho. Kedua Bambang Prabu — meninggal saat baru lahir. Ketiga Sri Lastri Sekar Kasmirah. Keempat Nanda Dimas Prakoso, dan yang kelima, si bungsu Jodi Pratama — 32 Tahun.
Eko dan Nanda memang sudah tidak tinggal di rumah. Sudah sibuk dengan urusan keluarganya masing-masing. Hanya Lastri serta suami dan anak-anaknya berserta Jodi Pratama yang masih tinggal di rumah milik sang ayah.
Bram mematikan rokok di asbak, kemudian menyalakan lagi sebatang rokok yang baru. Sungguh, ia tidak tahu harus berbuat apa.
Pria itu mengingat sepenggal kejadian masa silam. Saat mula-mula membina keluarga, dan diminta untuk tinggal di rumah oleh sang mertua. Kondisinya pun sama persis. Ia sedang duduk di kursi yang mengarah ke depan kolam hias dengan curug kecil. Hanya saja kondisi hatinya yang berbeda, antara masa silam dengan saat itu.
Jika saat itu ia bingung karena masalah yang tidak jelas akan berbuntut ke mana, pada masa lampau ia tengah duduk dengan amarah yang membara. Bram tidak terima lantaran mbah Warmo selalu ikut campur urusan keluarganya apabila ia sedang berselisih paham dengan Lastri. Beberapa kali ia merasa dilecehkan, karena orang tua itu selalu membela sepihak dan menyalahkan dirinya tanpa melihat pokok permasalahan atau melihat siapa yang benar dan salah. Perihal pembelaan pada anak perempuannya itu seringkali berujung pada ajakan berkelahi.
Bram begitu mengingat. Pada malam itu dirinya merasa sangat marah sambil menggenggam erat sebuah obeng panjang yang sudah dilancipkan di bagian ujung. Ia tidak tahan karena sudah sekian kali mendapat perlakuan diskriminasi dari mbah Warmo.
Laki-laki itu duduk resah menunggu kehadiran sang mertua dengan senjata tajam di tangannya.
Detik yang diharapkan pun datang. Bram segera beranjak dan berdiri di balik tembok samping pintu. Karena ia tahu, saat itu mbah Warmo sudah melangkah mendekat ke pintu rumah. Butir-butir keringat mulai tampak seiring dengan napas yang memburu cepat. Mungkin ia tahu atas resiko yang kan ia hadapi dari rencana gilanya itu.
Genggaman jari-jarinya semakin erat, bersamaan dengan langkah demi langkah sang mertua menuju pintu rumah. Sampai ketika kedua kaki Mbah Warmo sudah berada di ambang pintu, Bram langsung menikam dadanya.
‘Triiik’...
Terdengar pelan bunyi benturan ujung obeng yang lancip, disertai percikan api yang memercik dari dada mbah Warmo. Kemeja batik yang dipakai orang tua itu pun berlubang. Mbah Warmo serta merta menatap pada Bram dengan raut wajah heran. Pria muda itu juga menyiratkan raut wajah yang jauh lebih heran.
“Apa yang kamu lakukan?” mbah Warmo langsung mencekik leher Bram dengan tangan kanan, kemudian menempelkan badannya ke tembok. Meskipun tidak terlalu besar dan gemuk, namun tenaga pria tua itu masih sangat kuat.
“Cari mati kamu rupanya!” geramnya dengan sorot mata tajam.
Saat itu Bram tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya memucat, nyalinya surut seketika. Hanya bisa pasrah seraya berkata, “Maafkan aku, Pak... sungguh maafkan aku.” Sedang, mbah Warmo terus menatap matanya.
Beberapa menit berlalu dengan garis wajah mbah Warmo yang menahan murka, bersama napas tak teratur dari Bram yang menahan rasa takut. Namun lambat laun, sorot mata mbah Warmo berubah menjadi biasa. Pria tua itu kemudian melepas genggaman tangannya, bahkan dengan wajah agak tersenyum.
“Besar juga nyalimu,” katanya, seakan itu adalah sebuah hal yang baik dan menarik.
“Sekali lagi, maafkan aku, Pak,” tutur Bram, berusaha memegang tangannya karena rasa bersalah.