EVIL GREEN

Rudie Chakil
Chapter #4

Sarkas Sufisme

“Sisi gelapmu yang menerangiku jauh lebih kusuka, daripada sisi terangmu yang menggelapkanku.”

Seorang laki-laki menulis status di Facebook, tiga bulan yang lalu.

Saat ia melihatnya sekarang, jumlah like mencapai dua orang dan jumlah komentar masih stabil di angka 0.

Duljana menunggu di tempat yang dijanjikan, setelah sebelumnya balas-membalas pesan Whatsapp mengenai kedatangannya pada tuan rumah yang hendak ia kunjungi. Jaketnya telah basah, celananya juga sedikit basah. Untung saja hujan segera berhenti, karena ia memang tidak membawa payung.

Pemuda berwajah tidak tampan itu diminta oleh sang tuan rumah untuk menunggu di sebuah kedai kopi di pinggir jalan. Jarak beberapa meter dari salah satu SLTP Negeri di Jakarta Timur. Dirinya memang belum pernah berkunjung ke rumah seseorang yang ia panggil Mas Ade — Aradhea Dananjaya — yang akan datang menjemputnya itu. Sebab Aradhea yang lebih sering datang ke rumah Duljana, terkadang datang bersama pacarnya.

Duljana duduk santai, melihat-lihat suasana kafe sembari menikmati segelas kopi sendirian. Pengunjungnya cukup banyak meskipun masih sore. Mungkin karena selepas hujan, para remaja yang suka JJS berkunjung sekalian meneduh.

Jam digital di sudut atas layar ponsel menunjukkan pukul 16.50. Duljana lalu membuka Facebook untuk melihat status yang pernah ditulisnya tiga bulan yang lalu. Ia pun tersenyum melihat kenyataan tentang pertemanan. Sama saja. Tidak di dunia nyata, tidak pula di dunia maya.

Sebuah motor Vespa yang ia kenal, tiba-tiba parkir di depan kedai kopi tempat ia menunggu. Ruang terbuka berdinding coklat muda yang terdiri dari beberapa kursi untuk para pengunjung.

Pemuda yang baru saja turun dari motor langsung menyapa. “Duljana yaa?”

“Iya,” Duljana menyambut. Raut wajahnya agak canggung, sebab tidak mengenal seseorang yang menyapa itu.

“Saya Arryan, adiknya Mas Ade,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Iya...” Duljana menjabat tangannya dan tersenyum.

“Ayo...,” pemuda berbadan kurus agak tinggi itu mengajaknya. Duljana mengangguk, seraya berbalik badan dan membayar segelas kopi yang tadi ia pesan.

“Mas Ade sering cerita tentang lo, Dul,” kata Arryan saat mereka sudah berada di atas motor yang melaju dengan kecepatan lambat.

Duljana agak mendekatkan kepalanya. “Wah, cerita apa?” tanyanya.

“Banyak. Gue sama kayak lo, diangkat jadi adik sama Mas Ade. Gue juga tinggal di rumahnya.”

“Ohh..., sudah berapa lama?”

“Sekitar dua tahun.”

“Lo masih sekolah apa udah kerja, Yan?”

“Masih sekolah.”

“Ohh...” Duljana berpikir, laki-laki yang sedang mengemudikan motor itu sama seperti dirinya, tergolong orang-orang yang tidak mampu, sehingga Aradhea bersedia menampung dan membayar semua kebutuhan hidup dan pendidikannya. Dahulu saat Duljana masih bersekolah pun demikian. Hanya saja, Arryan tinggal di rumah sang kakak, sementara ia tidak.

“Mas Ade lagi di rumah?”

“Enggak, lagi main bola di lapangan sekolahan. Nih, kita udah sampai.” Karet bundar motor Vespa pun berhenti di depan sebuah gerbang sekolah.

“Ayo masuk,” ujar Arryan. Mereka pun melangkah ke dalam.

“Anjing! Lo kalo dendam mending berantem aja lah!”

Seorang pemuda yang berada di tengah lapangan mendatangi pemuda lain sembari mendorong keras tubuhnya, kemudian langsung memukul.

Duljana terkaget melihat kejadian itu. Menyaksikan beberapa orang pemuda berkelahi kala permainan sepak bola sedang berlangsung. Ia menengok pada Arryan.

“Hahaha... taruhan itu,” ujarnya.

“Taruhan?” tanya Duljana dengan kening berkerut.

“Iya,” Arryan mengangguk. “Satu gol dua ribu. Makanya ribut melulu.”

“Itu, Mas Ade?”

“Iya,” Arryan tersenyum, melihat pada teman-temannya di lapangan.

“Woy, udah...!” seorang pria bertubuh tinggi besar yang juga berada di lapangan datang untuk melerai.

“Woy, woy.” Kepalanya bergeleng-geleng. Suaranya terdengar sampai ke telinga Arryan dan Duljana yang berdiri dekat tanaman hias, di pinggir lapangan.

“Tadi lo lihat sendiri, Bang, gimana dia mainnya.” Pemuda yang terkena pukul pertama itu berujar keras dengan tangan menunjuk pada seorang remaja berbadan kecil. Ia lalu menengok pada pemuda yang tadi mendorong dan memukulnya.

“Giliran gue, lo malah ngajak ribut, bangsat lah!”

“Lo itu yang bangsat!” pemuda yang diumpatnya itu mengumpat balik, lalu berlari mengejar bola.

Setelah itu mereka kembali melanjutkan permainan.

Duljana heran bercampur takjub, sebab iklim permainan sepak bola yang ia saksikan di lingkungan tempat tinggal sang kakak demikian adanya. Keras tapi fair. Emosi tapi tetap menjunjung tinggi permainan.

Tak lama setelah itu pertandingan pun berakhir.

“Mas Ade kalah, hahaha,” ucap Arryan, melihat sang kakak memberikan uang pada seorang pemuda di antara team lawan, lalu berjalan mendekat ke arahnya. Ia lantas menengok pada Duljana.

“Maaf yaa, Dul,” Aradhea tersenyum sambil mengulurkan tangan. Duljana langsung membungkuk hendak menyium punggung tangan yang langsung ia tarik.

Arryan memberikan botol Aqua dingin, dan langsung diminum oleh sang kakak.

“Sini,” pria itu memanggil remaja laki-laki yang tadi satu team dengannya. Remaja itu pun mendekat.

“Bilang maaf sama Bang Budi, gue ada tamu,” tangannya mengambil uang di kantung celana. “Nih... lanjutin aja pertandingan team kita,” sambil memberikan uang senilai dua puluh ribu rupiah, kemudian memeriksa luka memar pada pergelangan kaki kanannya.

“Siap, Bang Ade.” Remaja itu duduk kembali di tempatnya semula, yakni bersama dengan team yang baru saja kalah tiga gol dan digantikan oleh team yang lain.

“Ayo, Dul.”

Mereka pun pulang, dengan berboncengan motor bertiga.

Aradhea Dananjaya. Laki-laki berbadan padat yang biasa dipanggil Ade. Bagi mereka yang belum mengenalnya lebih jauh, dia adalah pemuda yang terlihat arogan. Rambutnya keras dan tak rapi. Raut wajah maupun tatap matanya tidak mencerminkan seseorang yang baik, meskipun ia berusaha menunjukkan sikap yang benar.

Bagi dirinya, benar adalah lebih baik daripada baik itu sendiri. Karena itulah, bagi orang yang sudah mengenalnya, atau orang-orang yang tercatat dalam hatinya, maka ia pasti akan menunjukkan rasa simpatik yang terkadang berlebihan.

Yah, Aradhea jauh lebih dewasa dari apa yang tampak di mata. Terlebih bagi mereka yang bersedia datang ke rumahnya, lalu meminta pendapat darinya. Seperti Duljana yang sudah berada di rumahnya, duduk bersama di kursi ruang tamu.

“Gimana, kabar Ibu?” tanya lelaki itu sembari menikmati segelas air dingin.

“Alhamdulillah, baik, Mas Ade.” Duljana tersenyum.

Lihat selengkapnya