Menurut sebuah riwayat, terdapatlah sebuah negeri bernama Salakabuana, dengan pusat pemerintahan yang berada di Keraton Salakabuana. Wilayahnya sangat luas. Hasil buminya sangat melimpah. Rakyat di sana pun hidup dalam damai, aman dan tentram.
Kerajaan Salakabuana sama sekali tak pernah menjajah kerajaan lain, karena mereka juga tidak ingin dijajah oleh bangsa lain. Bagi penduduk Salakabuana — dari mulai raja, sampai rakyat jelata — beranggapan, satu perbuatan akan mendatangkan karma yang serupa di kemudian hari. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai hukum ‘sebab akibat’ atau ‘tabur tuai’. Maka itu, mereka selalu berhati-hati dalam melakukan segala tindakan, atau ketika mengambil setiap keputusan.
Secara territorial, wilayah Salakabuana dikelilingi oleh deretan pegunungan, dengan tujuh puncak yang paling tinggi. Itulah yang membuat Salakabuana menjadi seperti terpisah dari dunia luar dan berada jauh dari wilayah kerajaan-kerajaan lainnya.
Di dalam wilayah Salakabuana, ada sebuah gunung yang sangat besar dengan puncak yang sangat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada deretan pegunungan yang mengelilingi wilayah Salakabuana. Jika dilihat dari kejauhan, pucuk gunung tersebut seperti hendak menusuk langit. Orang-orang di sana menyebutnya sebagai ‘Puncak Langit’.
Puncak Langit merupakan tempat yang paling sakral dari semua wilayah Salakabuana, karena di dalamnya terdapat satu kawasan yang tersimpan pohon cahaya. Kawasan Pohon Cahaya adalah kawasan terlarang untuk dimasuki oleh siapa pun. Hanya sang raja dari keraton Salakabuana yang boleh memasuki kawasan tersebut, itu pun hanya pada hari-hari dan jam-jam tertentu saja. Selebihnya tidak boleh.
Pihak keraton memberikan peraturan keras secara lisan maupun tulisan bagi siapa saja yang coba mendekati kawasan tersebut. Bila ada yang kedapatan melanggar, sangsinya adalah hukuman mati. Keraton juga menugaskan prajurit-prajurit terbaiknya ke badan gunung puncak langit, demi menjaga kawasan paling sakral itu.
Menurut riwayat yang dituturkan, seorang pangeran dari kerajaan Utara jatuh cinta pada salah satu putri Salakabuana. Banyak para raja dan pangeran dari kerajaan lain yang juga ingin mempersuntingnya, tetapi sang putri jatuh hati hanya kepada pangeran Utara.
Saat diadakan sayembara, hanya pangeran Utara yang mampu memenangkannya. Di samping sakti mandraguna, pangeran Utara senantiasa berpikir cermat, tajam dan akurat kala berusaha mendapatkan apa-apa yang ia inginkan.
Singkat cerita, mereka menikah dan tinggal di dalam istana Salakabuana.
Sejak kecil putri Salakabuana amat penasaran dengan pohon cahaya. Bahkan ia pernah bertanya pada ayah dan ibunya tentang segala hal yang terkait keberadaannya. Kedua orang tuanya memberi pengertian, jika hukum kerajaan sudah menjadi aturan wajib yang musti ditaati, juga meminta dirinya untuk tidak melanggar norma-norma yang berlaku. Namun, rasa penasaran sang putri hanyalah tidur panjang.
Setelah menikah, perempuan berparas cantik itu bercerita mengenai pohon cahaya pada suaminya. Padahal ia tahu, suaminya merupakan seseorang yang bersifat keras dan punya tingkat kemauan yang tinggi.
Rasa penasaran pangeran Utara langsung bergemuruh begitu mendengar wilayah sakral itu. Bagai banjir bandang yang tak melihat dan menerjang apapun yang ada di depannya. Ia terus berpikir, bagaimana cara untuk dapat melihat pohon cahaya. Hingga suatu ketika, ia meminta pada istrinya untuk merahasiakan perjalanannya seorang diri menuju gunung Puncak Langit, dan berjanji, akan bercerita tentang apa-apa yang ia lihat.
Beberapa masa kemudian, desas-desus pun terjadi di dalam ruang lingkup abdi keraton Salakabuana. Semua orang sadar jika pangeran Utara tidak pernah kembali ke istana. Sang putri selaku istri pangeran terus didesak oleh raja dan ratu agar menceritakan tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Raja Salakabuana paham, ada sedikit kegelapan di dalam hati putrinya.
Karena terus didesak, akhirnya putri ketiga Salakabuana itu berkata jujur, jika sang suami pergi ke gunung Puncak Langit untuk membuktikan keberadaan pohon cahaya. Ia juga membela diri dengan berkata ; kalau dirinya sudah meminta sang suami untuk tidak melanggar peraturan kerajaan, tetapi suaminya tetap memaksa untuk pergi.
Sebagai seorang pemimpin yang harus berlaku adil, Raja Salakabuana akhirnya memutuskan untuk mengusir sang putri, keluar dari wilayah Salakabuana.
Berita tentang pohon cahaya, pangeran Utara dan putri Salakabuana terdengar ke seantero jagat. Membuat kerajaan-kerajaan lain menjadi penasaran untuk datang dan melihat wujud dari pohon cahaya.
Raja Salakabuana bukanlah sosok raja sembarangan, melainkan sosok yang amat waskita. Ia dapat mengetahui suratan takdir tentang apa yang akan terjadi. Yakni firasat tentang datangnya sebuah peperangan besar.
Benar saja. Pihak kerajaan Utara tidak terima dengan hilangnya sang pangeran. Mereka merasa harus mencari dan menyelidiki kawasan sakral di gunung Puncak Langit. Sementara hal tersebut sangat berbenturan dengan aturan yang sudah ditetapkan keraton Salakabuana secara turun-temurun.
Penolakan itu akhirnya berujung pada peperangan dari dua kerajaan besar tersebut. Kerajaan Salakabuana yang hidup damai dan disegani, berperang melawan kerajaan Utara yang wilayahnya jauh lebih luas.
Di masa peperangan, kerajaan Utara mendapat dukungan penuh dari kerajaan-kerajaan lain untuk menggempur habis pertahanan kerajaan Salakabuana. Mereka semua bersatu padu guna menduduki seluruh wilayah berserta kekayaan di dalamnya. Tanpa kenal waktu, tanpa kenal lelah.
Peperangan pun berlangsung selama bertahun-tahun.
Di tengah kepanikan dan kesengsaraan para rakyatnya, sang raja meminta mahapatih untuk menggantikan sementara dirinya sebagai pemimpin Salakabuana. Sang raja akan menumbalkan dirinya dengan bertapa mengelilingi sebuah telaga yang airnya sangat bening. Telaga tersebut berada di punggung gunung Puncak Langit, di satu kawasan yang tidak jauh dari lokasi di mana pohon cahaya berada.
Sang raja juga berwasiat pada beberapa orang kepercayaannya, jika ia tidak akan berhenti melakukan tirakat, sampai datangnya seseorang yang mampu menyelamatkan kerajaan Salakabuana.
Benarlah apa yang dilakukan sang raja dengan tirakatnya. Beberapa wilayah Salakabuana mungkin dapat dikuasai oleh kerajaan-kerajaan lain. Namun, istana Salakabuana dan gunung Puncak Langit tidak bisa dimasuki oleh golongan musuh.
Dua wilayah tersebut dijaga ketat oleh makhluk-makhluk yang teramat sangat kuat, yang berasal dari dimensi tak dikenal.
***
“Ardhee... kamu curang!”
Seorang anak laki-laki berkata pada salah seorang temannya.
“Jangan gitu, Ardhee. Lebih baik menerima kekalahan daripada bermain curang.” Sambar anak-anak yang lain.
Pinggiran desa itu begitu hening dan sepi. Suasananya agak ganjil. Tidak terang, tidak juga gelap. Tertampak seperti sore hari pukul 17.55.
Beberapa anak-anak tengah bermain di samping halaman sebuah rumah yang berada paling ujung desa. Rumah terakhir dari pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan hutan belantara.
Seorang perempuan melangkah gontai dari arah hutan menuju desa. Setiap kali melangkah, semilir angin berembus menggerakkan dedaunan di sekitarnya.
Pemilik rumah yang tengah menjemur pakaian segera menghentikan aktivitasnya, begitu juga dengan tiga anak laki-laki yang tengah bermain kelereng. Mereka menengok pada perempuan asing yang masuk ke desanya itu.
Sang perempuan mengulurkan tangan kanan ke arah mereka.
“Tolong...” desisnya, bagai sudah tidak punya tenaga untuk berjalan lagi. Tangan kirinya memegang perut, menahan rasa sakit yang teramat parah.
Wanita tua pemilik rumah melihat dengan raut wajah bingung serta khawatir, merasa tidak mengenal siapa perempuan tersebut. Salah seorang dari tiga anak laki-laki segera berdiri dan menghampiri ibunya.
“Siapa kamu?” tanya pemilik rumah kala perempuan itu sudah mendekat.
“Tolong aku, Ibu,” jawabnya.
Sosok perempuan itu terlihat berkisar usia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Parasnya sangat cantik dengan rambut ikal panjang berwarna merah. Mengenakan gaun putih seperti baju gotik yang dipakai wanita bangsawan Eropa di abad pertengahan.
“Uhuk,” perempuan berkulit putih bersih tersebut batuk dan mengeluarkan darah segar dari mulut, namun tangan kirinya tetap memegang perut, menutup bercak darah yang menempel pada gaunnya.
Wanita pemilik rumah seketika menengok pada anaknya. “Kamu ini... kelakuan kamu itu seperti manusia saja! Dia meminta tolong sama ibu, bukan sama kamu. Janganlah kamu ingin tahu sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu,” hardiknya. Anak laki-lakinya itu segera menjauh dan kembali bermain.
Wanita tua renta itu kemudian memperhatikan dengan saksama wajah perempuan muda yang tengah berdiri di depannya.
“Kamu... kamu manusia?” tanyanya, dengan mimik wajah amat terkejut.
Wanita tua mengerti, tidak akan ada semilir angin bilamana tidak ada manusia. Kalaupun ada, mereka hanyalah manusia-manusia terhina yang menjadi budak-budak para petinggi desa yang ada di sana. Tidak akan bergerak bebas tanpa pengawalan dari para penduduk desa.