Bagaimana seseorang bisa bercerita tentang sebuah pengalaman yang berkesan, jikalau dirinya belum pernah merasakan pahit getirnya kehidupan?
Yah, kondisi yang menyesakkan…
Sesuatu yang ketika seseorang sedang mengalaminya harus sanggup menerima, meski hati dan pikirannya tidak terima.
Kelak, ‘rasa penerimaan’ itulah yang mampu membuatnya tersenyum bahagia di kemudian hari.
Aradhea Dananjaya merupakan laki-laki berkarakter Ambivert. Yaitu seseorang yang dapat mengatur prilaku dirinya tergantung situasi, kondisi dan lawan bicara. Bilamana ia dihadapkan dengan orang ditingkat sosial atas, dirinya pasti akan bersikap sama dengannya supaya terlihat pantas. Begitu pula sebaliknya, bila berhadapan dengan orang ditingkat sosial bawah, ia pasti akan bersikap humble untuk menghargai lawan bicara.
Apabila interaksi dengan orang yang bersifat baik, ia juga menjadi baik. Namun apabila interaksi dengan orang yang tidak baik, ia akan menjadi orang yang berperangkai sangat buruk. Bila orang introver ia ekstrover, bila orang ekstrover ia introver. Dengan orang tua ia dewasa, dengan anak muda ia bocah. Semuanya tergantung keadaan. Bisa selaras, bisa pula sebaliknya.
Hal tersebut memang sudah terbentuk dari karakter dasar seorang Aradhea. Jadi, meskipun usianya masih terbilang muda, ia sudah cukup matang dalam segi berpikir dan bersikap.
Demikian pula saat ia berhubungan dengan pacarnya, Aida Nurrosi, mahasiswi cantik Fakultas Hukum yang tinggal di daerah Jakarta Selatan. Ambivert berhidung mancung dengan mata agak sipit itu pasti akan menunjukkan ‘versi dirinya’ yang sangat menghargai seorang wanita.
“Terima kasih, Tante. Semoga beruntung hari ini,” ujar Aradhea pada Asisten Rumah Tangga yang membawakan secangkir kopi panas untuknya. Pagi hari pukul 08.00, di meja ruang tengah, rumah Aida.
“He’eh, sama-sama, Mas Ade. Sebentar lagi juga selesai. Dari tadi kok mandinya,” balas ART usia sekitar 35 tahunan itu, tersenyum sembari menunjuk pintu kamar Aida dengan ibu jari. Kedua orang tua Aida sudah berangkat kerja, sedang, adiknya sudah berangkat sekolah. Aradhea jelas sangat diterima oleh keluarga tersebut, bahkan kedua orang tua Aida sudah menganggap seperti anak sendiri. Mereka memberikan restu penuh, percaya jika sosok pengusaha muda itu dapat memberikan perubahan baik pada putrinya.
“Iya,” balas Aradhea.
“Tumben datang pagi-pagi, Mas?” ia bertanya lagi.
“Saya mau berangkat mudik. Ini cuma mampir aja sebentar.”
“Oh, iya, iya. Hati-hati di jalan yaa, Mas,” ujarnya seraya bergegas ke ruang belakang. Aradhea mengangguk. Setelah itu ia duduk santai sambil bermain hape, sesekali menikmati kopi hitam di kursi yang menghadap ke tembok ruang tamu.
Lima belas menit waktu berlalu. Aradhea kemudian beranjak dari kursi dan masuk ke kamar Aida untuk mengambil flashdisk yang ia simpan di laci meja komputer. Begitu di dalam kamar, ia menggelengkan wajah sebab melihat kasur sang pacar kondisinya masih berantakan. Sangat kontras dengan isi kamarnya yang serba mewah. Dalam pikiran lelaki itu, ‘mengapa sebelum mandi ia tidak lebih dahulu membersihkan tempat tidur’?
Tiba-tiba Aida keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang tersanggul handuk. Aradhea menengok, terkejut dan menatap Aida yang hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Perempuan berbadan seksi dengan kulit bersih eksotis itu pun tersenyum manis padanya.
“Kamu berangkat jam berapa?” Aida bertanya.
“Habis ini aku berangkat. Flashdisk aku udah kamu isi, kan?” Aradhea menjawab dan bertanya balik. Kemarin ia memang meminta sang pacar untuk mengisi lagu-lagu format MP3 di dalam flashdisk miliknya.
“Udah,” jawab Aida, seraya duduk di pinggir tempat tidur. Aradhea pun mengambilnya dari dalam laci meja komputer.
“Oh ya, gimana masalah kamu?” Aida berkata sambil menyilangkan kedua kakinya yang memakai sandal kelinci.
“Masalah apa?” Aradhea menoleh.
“Kerjaan?”
“Hmmm,” Aradhea menggenggam flashdisk sembari melihat sang pacar membuka gulungan handuk di kepalanya. Rambut ikal tebalnya pun jatuh ke punggung.
“Pakai baju kamu, kita ngobrol di depan aja,” gumamnya seraya berbalik badan dan melangkah ke arah pintu kamar.
Aida langsung memeluknya dari belakang, membuat laki-laki bertubuh proposional itu merasakan sesuatu yang kenyal dan lembut menempel di punggungnya. Aliran darah pun naik ke kepala, seiring napasnya yang memacu cepat.
“I love you, Ra. Aku gak mau kamu kenapa-napa,” ujar Aida bernada manja, kemudian mengecup kulit leher Aradhea.
“Masalah ini membuat aku berpikir, ternyata apa-apa yang kita miliki, belum tentu sepenuhnya milik kita.”
“Maksud kamu?” Aida membelai lembut dada bidang Aradhea dengan telapak tangannya. Aradhea menarik napas panjang.
“Namaku udah nggak ada di dalam perusahaan.”
“Hah!” Aida terkejut. Ia memang tahu banyak tentang masalah yang tengah dihadapi pacarnya itu, namun Aradhea belum bercerita padanya tentang kabar terakhir ia mengundurkan diri.
“Terus? Kamu lepas gitu aja? Kamu gimana sih, Ra, itu kan perusahaan kamu?” ucapnya seraya melepas pelukan dan mundur satu langkah.
Aradhea berbalik badan dan memegang kedua lengan Aida. “Sudahlah, Aida. Rejeki bisa dicari di tempat lain.”
“Kamu ikhlasin gitu aja? Perusahaan yang udah susah-susah kamu rintis, hilang begitu aja?” kening Aida mengerut, matanya yang bundar sedikit menyipit.
Aradhea kemudian tersenyum, melepaskan tangannya. “Kita enggak pernah tahu kejadian apa yang akan terjadi di hari esok. Penerimaan akan kondisi yang terjadi adalah yang paling utama, Aida.”
“Lho, justru karena kita nggak tahu gimana hari esok, makanya kita harus berpikir dan menyelesaikan masalah yang terjadi.”
Aradhea menarik napas dalam. “Ya udah, lupakan. Aku udah bangkrut, Aida. Aku harus memulai sesuatu dari awal lagi,” gumamnya sambil menyilangkan badan.
“Ara…, kamu pasti punya cara lain, gimana mengambil alih perusahaan kamu lagi. Atau, kalau kamu berkenan, sini, biar aku angkat kasus rekan-rekan kamu itu. Mereka itu bangsat tau gak!” Aida melangkah ke depannya.
“Tenang… tenang, Aida. Mereka juga punya keluarga. Jika mereka mau memberi makan keluarga mereka dengan cara demikian, yah, silakan.”
“Hmmm, yah, terserah kamu deh, aku cuma peduli aja sama kamu.”
Aradhea agak tersentak mendengar itu, sebab ia sudah menaruh rasa curiga pada sang pacar. Sorot matanya menatap tajam. Dalam hati ia berkata, ‘Kamu tidak sepenuhnya peduli pada diriku. Kamu sepenuhnya peduli pada dirimu sendiri’.
“Oke, kamu tenang aja, oke. Aku harap kamu benar-benar terima,” ujarnya dan berbalik badan.
Saat Aradhea melangkah ke ambang pintu, Aida langsung menutup dan mengunci pintu lebih dahulu, kemudian mendorong laki-laki itu ke sudut ruangan kamar.
***
“Dul... Duljana...”
Suara keras Ibu Sukaesih masuk ke kamar bertembok putih agak kusam, seraya duduk di sisi kasur lantai. Tangannya lalu menggoyang-goyangkan tubuh seseorang yang dipanggilnya.
“Apaan sih, Bu?” Duljana menengok. Matanya masih sayu menahan kantuk. Hujan di pagi hari memang mendukung untuk tetap terlelap.
“Tante Lastri meninggal, Dul,” gumamnya memberitahukan.
“Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.” Pemuda berkaos putih tipis itu bangkit.
“Ayo, antar ibu ke rumahnya.”
“Iya.”
Duljana terbengong sebentar dalam posisi duduk, kemudian merapikan tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi. Sungguh, dia adalah seorang laki-laki yang baik lagi lembut. Karena kebaikan dan kelembutannya itulah, ia seringkali tidak dianggap oleh teman-temannya. Hanya dimanfaatkan pada saat mereka membutuhkan, dan kemudian diacuhkan setelahnya. Kendatipun demikian, ia tetap berbahagia dengan dirinya sendiri.
“Ayo, Bu,” katanya selepas mandi dan berpakaian rapi, berdiri di samping ibunya yang sedang duduk menunggu di ruang tamu. Mereka pun berangkat menuju kediaman almarhumah Lastri.
Sepanjang perjalanan, wanita setengah baya berbadan agak kurus itu berusaha menahan sedih di sela ingatan tentang Lastri. Apa yang ia takutkan sungguh terjadi. Firasatnya mengatakan kebenaran, akan akhir pertemuan dengan mantan majikannya itu. Bahkan tervisual lewat mimpi kemarin malam.
“Semalam ibu mimpi, gigi bagian bawah ibu copot. Dari subuh tadi ibu gelisah mikirin, Dul,” ucapnya, duduk berhadapan dengan sang anak di kursi belakang angkot.
“Yah... mungkin ini memang sudah takdir, Bu. Maut, rejeki, sama jodoh, kan udah ada yang mengatur.” Duljana coba menenangkan.
“Iya. Tapi ibu merasa ada yang janggal, Dul,” gumamnya sangat pelan, agar tak terdengar oleh dua orang penumpang lain.
Duljana berpikir dalam, merasa sepemikiran dengan sang ibunda. Firasatnya mengatakan jika hal ini memang ada kaitannya dengan perkara gaib, yang telah diceritakan oleh suami dari almarhumah Lastri.
“Bu..., Duljana sudah cerita sama Mas Ade. Tapi kok reaksi Mas Ade kurang memuaskan yaa.”
“Oh ya, Mas Ade bisa bantu gak?” tanya wanita bermukena hitam itu sambil menengok.
Duljana menggeleng, “Mas Ade gak mau bantu, Bu.”
Ibu Sukaesih hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkan dalam pengembaraan imajinya, ia tampak seperti mengalihkan pembicaraan dengan mengakhirinya, hingga kendaraan yang mereka tumpangi berhenti di sebuah perempatan jalan besar.
Mereka kemudian melangkah menuju rumah yang terdapat bendera kuning dan rangkaian bunga yang berjejer di depan pagar.
Selanjutnya mereka memasuki rumah duka. Melihat wajah-wajah murung mereka yang ditinggalkan. Menyium aroma wangi bunga kala jenazah tengah dimandikan. Bertegur sapa dengan orang yang menyambut kedatangan mereka berdua.
“Turut berduka cita, Mas,” berkata Ibu Sukaesih pada seorang pria yang sedang duduk di dekat pintu rumah, yang merupakan suami dari almarhumah Lastri.
Pria berkemeja dan bercelana Levis itu berdiri, dan menyalami keduanya.
“Terima kasih. Silakan duduk,” tangannya mempersilakan.
“Apa kabar, Duljana?” wajahnya tersenyum, menutupi kesedihan yang amat mungkin melanda hatinya.
“Baik, Om Bram,” jawab pemuda itu.
“Yah, beginilah,” katanya.
Ibu Sukaesih hanya diam sambil menyeka matanya yang tampak memerah. Bram lalu meminta dengan tangan supaya mereka mengikutinya ke pojok ruangan. Duljana hanya menyimak pembicaraan serius, antara ibunya dengan Bram.
“Tolong kami, Bule. Sebelum meninggal, Lastri berkata, kalau Bule Asih mampu menolong keluarga kami. Kami takut, kemurkaan Bapak sampai ke anak cucunya, sampai ke anak saya, Bule.”
“Hah,” Sukaesih agak terjekut mendengar itu. “Mohon maaf, Mas Bram, boleh kami tahu apa akar masalahnya?”