“Indahnya bintang-bintang yang bertaburan di langit. Semuanya seakan tersenyum kepadaku.”
Jodi Pratama terperangah sambil menatap langit. Kedua tangannya terbuka lebar, berdiri di atas hamparan kosong pada malam bulan purnama.
“Aku bisa bicara... Ibu, aku bisa bicara... Apakah Ibu melihatku dari sana?” ia lalu menengok pada satu dari dua gundukan tanah yang ada di depan kakinya.
“Ibu..., Aku ingin bertemu denganmu. Mereka semua tidak dapat dipercaya, Ibu. Mereka semua tidak menyayangiku,” ujarnya.
Seketika itu juga terdengarlah sebuah seruan.
“Jodi anakku..., sabarlah, Nak. Sebentar lagi kita akan bertemu.”
Laki-laki kurus tinggi berwajah pucat pasi itu terkejut. “Kapan, Ibu?” balasnya, seraya menengok ke kanan, kiri, depan dan belakang. Ia tahu bahwa itu adalah suara mendiang sang ibunda yang telah lama tiada.
“Tidak lama lagi.”
Mendengar itu, Jodi memandang ke atas, namun tidak tampak visual apapun kecuali kegulitaan. Ia juga tidak tahu di mana dirinya sedang berada. Hanya area sekitar ia berpijak dan dua gundukan tanah di depannya saja yang tersinari cahaya rembulan. Selebihnya cuma ada hamparan luas di tengah kegelapan.
Ia lalu menengok pada gundukan tanah di sebelah makam sang ibunda. Cahaya samar sang pangeran malam pun ikut menyisir permukaan gundukan tanah, sampai terlihat sebuah batu nisan bertuliskan nama ayahnya, Warmo.
Pemuda itu seketika merasakan hawa ganjil. Angin dingin yang melewati sela-sela badannya seperti berdesis. Dalam kondisi sadar, ia memang tidak mengetahui bahwa jenazah ayahnya dimakamkan di sebelah makam sang ibunda. Ia hanya mengetahui bahwa ibunya telah hilang keberadaannya, dan pada masa belakangan, ayahnya yang juga hilang keberadaannya.
Rasa takut mulai datang secara naluriah, bersamaan dengan asap hitam yang keluar dari makam ayahnya. Asap hitam itu lambat laun memadat dan mewujud menyerupai sosok seperti manusia. Pria telanjang berwarna hijau.
Telinga dan hidungnya lancip, matanya merah kehitaman dengan mulut tersenyum padanya.
‘Grrrmmmmm... Grrrrmmmmm’....
Jodi mengerang di tengah malam, pukul 00.35.
“Jodii... Jodiii...” Lastri masuk ke kamar dan berusaha membangunkannya. Disusul oleh Bram yang membawa satu botol berisi air bening. Air yang menurutnya bertuah karena ia memintanya dari seorang paranormal kondang.
“Jodi...” Lastri kembali memanggil, seraya menepuk-nepuk pipi adiknya yang terlelap sedari sore hari.
Tiba-tiba kelopak mata Jodi terbuka, menatap pada Bram dan Lastri, lalu beranjak duduk di sisi tempat tidur.
“Hahahaha.” Ia pun tertawa.
Bram menyolek pundak Lastri, memintanya agak menjauh. Mereka paham itu adalah sebuah kondisi ganjil, karena Jodi sudah dua hari mengalami sakit demam. Suhu tubuhnya panas tinggi. Lastri hendak membawanya ke rumah sakit, namun Jodi menolak untuk keluar dari kamar. Kakaknya itu hanya memberikan makan dan obat-obatan saja, menyangka kalau sang adik hanyalah sekedar demam biasa.
Setelah tertawa, Jodi berdiri, kemudian menghadapkan badan pada mereka berdua. Tangan kanannya menunjuk pada Bram.
“Kamu..., tak usah pura-pura bodoh,” ujarnya. Sorot matanya tajam seperti mata harimau, bahkan pupil matanya pun menjadi tipis. Suaranya juga jelas terdengar seperti suara Mbah Warmo.
Bram terkejut, tapi berusaha tetap tenang.
“Aku bukan orang bodoh. Aku tahu kalau kamu bukanlah ayah kami,” balasnya.
Jodi tersenyum, lalu mendekat pada Bram.
“Jangan kau melihatku seperti itu. Tatapanmu sama persis dengan ayahmu, sebelum aku mencabut nyawanya.” Ia menunjuk-nunjuk pada wajah Bram.
Botol berisi air di tangan Bram pun terjatuh. Ia tidak menyangka jika makhluk yang merasuk ke tubuh Jodi akan berkata seperti itu. Wajahnya memerah penuh emosi.
“Bangsat!” Bram berteriak keras dan spontan memukulnya. Namun Jodi mampu menggeser badan sedikit ke belakang, kemudian menapak pergelangan tangan Bram ke atas.
Bram terpana melihat serangannya secara frontal dapat dengan mudah dipatahkan. Jodi menyikut Bram tepat di dadanya, hingga pria berbadan proposional itu terhuyung sampai ke pintu kamar.
Lastri yang terkejut melihat kejadian itu segera menjauh ke sudut kamar. Jantungnya berdetak kencang. Ia paham, jika bukan oleh ayahnya, Bram tidak akan pernah kalah berkelahi dengan siapa pun.
Bram mengambil lampu tidur, lalu menghantamkannya ke kepala Jodi. Tetapi lelaki kurus itu lagi-lagi mampu menahan dengan kedua tangan. Sungguh, malam yang hening itu berubah menjadi sangat gaduh.
Bram lantas menendang botol di lantai ke arah Lastri, kemudian kembali menghantam tubuh Jodi dengan benda sepanjang setengah meter di tangannya itu.
Jodi dengan cekatan dapat memegang tangkai lampu, lantas membetot.
“Kamu bangsat yang keras kepala!” hardiknya, seraya menghantam wajah Bram. Darah segar pun mengucur di hidungnya.
Jodi kemudian menarik tangan Bram dan menghajar tengkuk kepalanya. Bram pun jatuh pingsan.
Laki-laki kurus tinggi berpiyama putih itu berbalik badan, menengok pada Lastri yang tengah gemetar menahan rasa takut, berdiri sambil menyender pada tembok kamar.
“Aku... Warmo... Tidak akan bisa dikalahkan oleh siapa pun,” ujarnya, seraya mendekat dan menepuk-nepukkan dada.
“Ba, Bapak.”
“Anakku, Lastri. Suamimu ini adalah seorang putra dari laki-laki yang pernah aku bunuh. Dia menikah denganmu hanya karena ingin membalaskan rasa dendamnya kepadaku.” Nada bicara dan sikapnya terasa hangat.
“Hah!” Wanita berpiyama merah muda putih itu terkejut.
“Cuiih,” Jodi meludahi tubuh Bram.
Lastri perlahan membuka tutup botol dengan tangan gemetar. Menurutnya, biar bagaimanapun Jodi harus segera sadar.
Laki-laki berambut tipis acak-acakan itu memandang sang kakak yang tampak sangat ketakutan.
“Ingat, Lastri. Aku tidak akan memaafkan orang-orang yang sudah mengecewakan aku!” katanya dengan tatap tajam.
Sikap, suara, nada dan gaya bicaranya sama persis dengan sang ayah kala dahulu sedang mengancam seseorang, entah keluarganya sendiri atau orang lain. Lastri tahu pasti akan hal itu.
Ia langsung menyiram tubuh Jodi dengan air dari dalam botol. Seketika itu juga laki-laki putih pucat itu ambruk di lantai.
Peristiwa itu terjadi empat bulan setelah Mbah Warmo meninggal, dan dalam waktu seminggu kemudian, atau tepat 40 hari setelah kematian dari salah seorang keluarga besar mereka, yaitu Mbah Warman. Jodi pun meninggal di rumah sakit karena terinfeksi demam berdarah
***
Lastri duduk di pinggir tempat tidur. Sorot matanya yang sayu tengah memandang pada ikan-ikan kecil berwarna merah, oranye, biru dan hitam yang hilir-mudik tanpa beban di dalam akuarium air laut berukuran panjang satu meter di kamar anaknya.
Selepas maghrib tadi, Lastri menghabiskan waktu bersama kedua anaknya. Bercerita, bercanda, nonton film, sampai mereka terlelap di kasurnya masing-masing. Hal tersebut memang sudah menjadi rutinitasnya, hampir setiap hari.
Jam dinding berdetak lirih pukul 22.45, baginya terasa seperti waktu dini hari. Meski sorot pandangnya mengarah pada gerombolan ikan hias, namun pikirannya tengah melayang-layang dalam kesedihan. Air matanya pun keluar dari sudut mata kanan. Kedua tangannya tetap memegang lutut.
“Suamimu ini adalah seorang putra dari laki-laki yang pernah aku bunuh.”
Kalimat tersebut kembali menggema dalam benaknya. Boro-boro untuk menikmati kemewahan dunia yang sudah ditinggalkan oleh mendiang orang tua. Pikirannya justru mengarah pada masalah yang belum tuntas.
“Apakah benar perkataan itu?” dalam hati ia bertanya-tanya. “Jika iya, maka aku benar-benar benci sama dia,” kemudian menjawabnya sendiri.
Suara-suara di dalam benaknya sungguh nyata dan sangat mengganggu. Ia merasa seperti mendengar sepuluh orang yang sedang berbisik padanya secara bersamaan. Bergemuruh memenuhi alam pikir.
“Pokoknya aku harus segera bertanya.” Suara dalam benaknya datang lagi. “Tapi bagaimana jika dia berbohong?” sisi lain dari benaknya pun menjawab.
“Dia menikah denganmu hanya ingin membalaskan rasa dendamnya padaku!”
Ucapan Jodi sebelum meninggal — yang ia sangka adalah ayahnya, benar-benar membuatnya stres. Bahkan tiga hari paska Jodi telah tiada, wanita berambut ikal tipis itu masih belum juga membicarakan hal tersebut pada sang suami, masih memendamnya sendiri. Sungguh ia sangat takut serta khawatir.
Bagaikan puzzle yang datang dengan rangkaian acak, Lastri mengingat tentang kedua orang tua Bram yang telah meninggal jauh sebelum mereka menikah, pertemuan pertama mereka yang sangat kebetulan, karakter suaminya yang mampu menjaga rahasia, hingga Bram yang seringkali terlibat perseteruan dengan mendiang sang ayah.
Kepingan demi kepingan di dalam pikiran tersebut membuat dirinya semakin yakin, jika sang suami merupakan anak dari orang yang telah dibunuh oleh ayahnya.
Sorot mata yang tadinya tampak sedih kini berubah menjadi tajam. Napasnya menjadi tidak teratur.
Sisi sebelah dirinya meminta supaya suaminya berkata jujur, tetapi sisi sebelahnya lagi merasa takut, jika apa yang akan ia tanyakan pada suaminya itu merupakan sesuatu yang benar. Bagaimanapun juga ia mencintai suaminya, dan ingin keutuhan keluarga tetap terjaga. Namun, rasa kecewa sudah merasuk ke dalam dada karena sebuah jawaban hanya diduganya sendiri.
“Aku tidak boleh emosi. Kalau aku emosi, semuanya akan berantakan. Tapiii…”
Lastri akhirnya mengambil keputusan untuk bertanya pada Bram. Ia bangkit dari tempat tidur, mematikan lampu dan menutup pintu kamar anaknya. Setelah itu ia mengambil sebilah keris berukuran kecil di dalam kamar mendiang ayahnya.
Keris peninggalan Mbah Warmo ia letakkan di pinggang, melangkah menuju suaminya.
“Aku mau tanya jujur sama kamu,” ujarnya ketika baru masuk salah satu kamar yang ada di ruang tengah, yakni ruang kerja.
Bram menengok dengan wajah heran.
“Apakah kamu menikah denganku cuma untuk balas dendam?” lanjutnya bertanya dengan wajah yang tampak sinis.
“Hah,” Bram menghadapkan badan. “Balas dendam sama siapa? Kenapa kamu punya pikiran seperti itu?” ia bertanya balik.
“Jawab pertanyaanku?!”
“Tunggu, tunggu. Kamu pasti mendengar sesuatu.” Bram coba mengingat.
“Yah, ketika kamu pingsan, Bapak bilang padaku, kalo kamu adalah anak dari orang yang telah dia bunuh.” Raut wajah Lastri kian geram.
“Kamu juga menyerangnya, ketika Bapak menyinggung tentang ayahmu,” lanjutnya.
Bram berpikir sejenak, duduk merenung di depan meja komputer. Mengingat-ingat sepenggal kejadian, guna mengulas apa yang baru saja dikatakan istrinya.
“Jangan kau melihatku seperti itu. Tatapanmu sama persis dengan ayahmu, sebelum aku mencabut nyawanya.” Itulah ucapan Jodi yang terakhir kali ia ingat sebelum pingsan.
Saat itu Bram berpikir, kesombongan Jodi — yang sedang kerasukan, dan menyinggung ayahnya — sudah sangat tinggi. Sudah serupa malaikat pencabut nyawa saja. Maka itu ia kesal dan langsung menyerangnya.
“Oh, Tuhaan, kenapa kamu bisa begitu percaya, Lastri? Dia itu bukan ayahmu.” Bram bicara dengan nada agak keras.
“Pantas saja sikapmu jauh berbeda belakangan ini. Aku… menikahi kamu untuk membalas dendam sama bapak, terus kamu percaya?” sambungnya seraya berdiri, hendak menghampiri Lastri yang berada di dekat pintu.
“Sekarang jawab pertanyaanku, iya apa enggak!”
Mungkin Bram adalah seorang yang bernyali besar, tetapi apabila ada hal yang menyudutkan diri, Sri Lastri jauh punya nyali yang lebih besar.
“Aku tidak tahu. Lagian ngapain sih kamu percaya sama perkataan makhluk itu? Sudah kubilang, dia itu bukan bapak kamu,” ucapnya.
“Kamu pembohong. Kalo kamu jujur, kenapa kamu gak bisa jawab, hah!” Lastri perlahan mendekat.
Bram kembali duduk di kursi.