EVIL GREEN

Rudie Chakil
Chapter #8

Batas Realita

Hujan lebat belum selesai mengguyur jalan raya Puncak yang berkelok naik turun.

Aradhea dan Duljana sangat menikmati perjalanan, sembari memakan camilan yang sudah mereka beli saat awal keberangkatan, sebelum mereka tiba di Kebun Raya Bogor. Pakaian mereka telah kering dengan sendirinya, karena udara dingin di dalam mobil.

Sepanjang jalan, beberapa pria terlihat melambai-lambaikan tongkat menyala, tanda bahwa mereka menyewakan sebuah rumah tinggal serupa vila. Saat posisi rute sudah mendekati pertigaan jalan menuju area wisata Cibodas, Aradhea menepikan kendaraan di pinggir jalan seraya membuka kaca mobil. Seorang pria pun mendekatinya.

“Sewa villa, Bos,” bisiknya dengan ramah.

“Semalam berapa, Kang?” tanya Aradhea.

“Delapan ratus, A,” jawab lelaki yang rela basah-basahan demi dapatkan pelanggan.

“Aya awewe, nte?” 1 Aradhea mengangguk ke atas sambil tersenyum.

“Hahahaha..., gampang, A, itu mahh.” Ia tersenyum senang.

“Sediakan dua untuk kita,” kata Aradhea, lalu menengok pada Duljana yang terkaget bercampur sumringah.

“Bereess..., mari, mari, mari.” Pria itu memberikan kode dengan tangan.

“Nanti kita ke sini lagi, Kang. Jam sembilan kita sampai.” Aradhea memberikan uang seratus ribu rupiah, sebagai uang muka.

“Siap, A.” Pria bertopi caping itu kembali ke tempatnya dengan semangat.

“Beneran, Mas?” Duljana menoleh dengan mimik canggung, saat Aradhea sudah kembali menutup kaca mobil.

“Hahahaha.” Sang kakak tertawa geli, “kamu mau gak?” tanyanya.

“Gak mau, ah, Mas. Takut dosa.”

“Ya udah kalau kamu gak mau,” ujarnya, seraya menambahkan laju kecepatan kendaraan.

‘Jangan-jangan Mas Ade suka jajan perempuan? Padahal Mbak Aida kurang apa sih? Perasaan udah cantik dan seksi banget deh’. Duljana berkata dalam hati sambil mengamati Aradhea. Ia memang mengenal dengan baik sosok pacar dari sang kakak.

“Kamu ngomong apa, Dul? Kok saya kayak mendengar sesuatu yah?” tanya pemuda beralis tebal itu sambil tersenyum.

“Enggak, Mas, enggak,” Duljana menggeleng dan langsung menutup mulutnya dengan tangan, seraya melihat pemandangan di depan jalan.

Ponsel Aradhea tiba-tiba berbunyi dan langsung diangkat olehnya.

“Iya, waalaikummusalam.” Dengan wajah ceria, pemuda itu mendengar seseorang yang menghubunginya.

“Iya…, salam aja sama Fendy yah,” ucapnya, lalu menutup sambungan.

“Hmmm, Duljana tahu, Mas, siapa yang telpon.”

“Siapa?”

“Mbak Aida, kan.”

“Hahahaha, kamu tau dari mana?”

“Feeling aja, Mas.” Duljana tertawa kecil, sebab jalan pikirannya bisa pas dengan seseorang yang langsung menelepon. Aradhea hanya meliriknya dengan lirikan tajam.

“Oh, iya. Kita salat dulu yaa, terus makan.”

“Siap, Mas.”

Pukul 20.30, Selepas mereka makan dan berbincang santai di sekitar area parkiran wisata Cibodas, mereka kembali datang ke penginapan. Di depan vila, calo yang tadi dijanjikan telah menunggu, dan membawa dua orang perempuan cantik yang sudah duduk di kursi ruang tamu.

Selesai mobil diparkirkan, Aradhea membayar biaya sewa pada calo berusia sekitar 40 tahun yang sudah berganti busana dengan jaket hitam, sekaligus mengambil kunci vila. Pemuda berwajah manis itu tertawa geli tatkala melihat Duljana terkejut dan memperhatikan dengan saksama dua orang ABG montok berkulit putih yang tersenyum manja.

“Gimana, Dul, hasrat gak?” bisiknya meledek, diiringi tawa kecil. Duljana hanya tertegun tanpa menjawab.

Aradhea kemudian memperkenalkan diri pada mereka. Memang derajat sosial seseorang yang berasal dari bawah itu tidak dapat dibohongi. Komunikatif, sikap dan tingkat percaya diri, wajib menjadi poin dari kualitas diri. Aradhea dengan sangat apik dan menyenangkan, mampu membawa perkenalan mereka dengan laku familier.

“Oke, Laras dan Milka. Sekarang bikinin kita kopi.” Tangannya meletakkan satu kotak kopi mix di atas meja, selepas perkenalan mereka sudah cukup akrab.

Perempuan seksi berkaos putih celana Levis mengambilnya dengan lirikkan yang membius.

“Milka masak air dulu yaa, A,” ucapnya, mendesah serak-serak basah. “Ayo, Ras,” kemudian memanggil temannya. Mereka pun beranjak dan melangkah ke arah dapur.

Tampaklah sepasang bola mata yang tengah fokus melihat bokong mereka dari belakang.

“Ehem...,” suara dahak yang disengaja terdengar. Menyadarkan sorot pandang yang tengah menikmati sebuah keindahan.

“Haduh, Mas Ade,” gumam Duljana, serasa tak percaya dengan kondisi perjalanannya di malam itu. Memang baru kali pertama ia menginap di vila dan ditemani oleh dua orang gadis muda yang telah siap di‘apa-apa’kan. Aradhea hanya terpingkal.

“Nanti malam saya pergi sebentar yaa, Dul,” katanya, selesai tertawa.

“Mau ke mana, Mas?”

“Ke Taman Nasional Gunung Gede,” jawabnya.

“Ngapain, Mas?” raut Duljana agak heran.

“Ada urusan, sebentar.” Tangannya mengambil dan menyulut sebatang rokok.

“Kamu gak usah ikut, kamu di sini aja. Di sana nanti capek, gelap, serem. Lagi pula cuacanya dingin,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Iya, Mas.” Sang adik menurut.

Setelah itu mereka berempat berbincang hangat tentang kehidupan masing-masing, disertai aneka snack dan minuman kopi. Aradhea bercerita tentang sedikit kehidupannya, juga reka ulang pertemuan pertama dengan Ibu Sukaesih dan Duljana. Lelaki itu memang sangat menguasai percakapan. Mampu bercerita dan mampu menjadi pendengar yang baik. Ia bahkan berkata, bila pembicaraan pada malam itu bersifat jujur dan terbuka, dengan bertanya pada dua perempuan cantik bak artis sinetron, ‘apa yang membuat mereka menjalani kehidupan seperti itu?’

Gadis cantik berusia 19 dan 20 tahun itu masing-masing bercerita tentang masa lalu mereka. Hangat dan akrab seperti sudah lama mengenal.

Sampai pada pukul 01.00 dini hari, Aradhea keluar dari vila, lalu pergi menuju Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

***

“Boleh tahu, Mas. Semalam Mas Ade bayar cewek-cewek itu berapa duit?” tanya Duljana, siang hari saat mereka kembali melanjutkan perjalanan. Aradhea menoleh.

“Kamu jawab yang jujur dulu. Pas saya pergi, kamu menjamah mereka apa enggak?” tanyanya balik. Aradhea memang berniat menyewa jasa Laras dan Milka hanya untuk membuat kopi dan menemani berbincang. Tidak lebih sama sekali, meski bayarannya setimpal jika saja dua orang pemuda normal itu melakukan lebih.

“Hmmm..., Duljana cuma pegang-pegang toket doang, Mas,” jawabnya polos dan malu-malu.

“Hahahaha..., siapa?”

“Milka, Mas.”

“Terus?” Aradhea bertanya dengan tawa kecil.

“Terus Duljana masuk kamar dan kunci pintunya.”

“Bener?”

“Iya, bener, Mas.”

“Oke... saya itu sebenarnya cuma mengetes kamu, Dul. Kamu kuat apa enggak menahan nafsu syahwat? Dan ternyata kamu lulus, walaupun ambil sedikit kesempatan. Hahaha. Saya bayar mereka satu juta per orang, sesuai tarif saat mereka dibayar untuk long time. Oh ya, ngomong-ngomong kamu gak rugi?” Aradhea menengok sambil menaik-turunkan alis matanya.

“Hahaha..., ada juga Mas Ade yang rugi. Duljana mah enggak, Mas,” lantang sang adik menjawab dengan nada tinggi. “Duljana orisinil dia enggak.”

“Hahaha... paling nanti kamu ngebayangin Milka di kamar mandi aja yaa?” Aradhea tertawa geli. Duljana juga tertawa kecil.

“Jujur, saya kasihan sama mereka, Dul. Suatu saat nanti saya akan ke sana lagi, saya akan bujuk mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih baik,” sambungnya. Setelah itu mereka menghening beberapa saat, menikmati perjalanan yang masih cukup jauh.

Pada saat kendaraan melintas di daerah Padalarang, Aradhea mengubah rute perjalanan.

Kendaraan langsung berbelok ke kiri jalan, memasuki ruas Tol Cipularang. Tampaknya pemuda itu berubah pikiran karena pertimbangan waktu.

“Nanti makan di Rest Area aja yaa, Dul,” kata Aradhea.

“Iya, Mas,” balas Duljana yang duduk santai sambil menaikkan satu kaki di kursi mobil.

“Oh ya, Mas. Duljana mau nanya-nanya masalah alam gaib, Mas,” sambungnya.

“Hah, kenapa kamu mikirin hal itu?”

“Iya, penasaran aja.”

“Oke…, kenapa?”

“Apakah mereka berada di waktu yang sama dengan waktu kita?”

“Hmmm, jelas beda, Dul. Selain dimensi yang beda, waktu yang mereka punya juga beda dengan waktu kita. Semakin halus dimensi mereka, maka semakin cepat lompatan waktunya dengan alam kita. Waktu yang berjalan di alam mereka itu lebih duluan dibanding alam kita. Satu hari, satu minggu, satu tahun, seratus tahun, bahkan bisa seribu tahun. Tergantung tingkat kehalusan dimensinya.”

“Ohh…, iya, Mas. Terus kalo masalah penampakan, kenapa gak semua orang bisa melihat? Ada yang bisa, ada yang enggak, gitu.”

“Untuk menjawab hal ini, kamu harus tahu dulu bagaimana cara kerja sebuah penampakan, supaya nanti kamu enggak bingung.”

“Iya, Mas, apa?”

“Ada tiga poin utama yang harus kamu tahu, Dul. Pertama, itu karena makhluk halus merasakan getaran energi yang berasal dari dalam diri seseorang. Kedua, itu karena adanya ikatan emosi yang terjalin. Ketiga, karena bawaan badan, ada yang sejak lahir, ada yang karena sesuatu.”

“Hmmm, Duljana belum paham, Mas. Bisa tolong dijabarin, Mas?”

“Yah…, pasti bisa. Kamu dengerin baik-baik yah.”

“Iya, Mas.”

Mitsubishi Pajero putih itu pun melesat cepat menuju ruas Tol Cipali, dengan perbincangan panjang dari dua orang pemuda di dalamnya.

Kabupaten Tegal menuju Pemalang. Pukul 19.05

“Dul..., kamu jangan bilang siapa-siapa yah. Hanya terhitung empat orang yang tahu tentang masalah ini. Bahkan Aida aja enggak saya kasih tahu.”

Duljana menengok. “Ada apa, Mas?”

“Kemarin saya dapat ini, Dul.” Aradhea mengambil plastik hitam di dashboard mobil, lalu membuka bungkusan kain di dalam plastik. Ia lantas memperlihatkan sesuatu berwarna orange cerah menyala dengan bentuk yang tak beraturan. Ukurannya sebesar satu bungkus rokok, keras dan masih banyak sisa-sisa tanah yang menempel. Duljana mengambilnya.

“Ini emas murni yaa, Mas?” Duljana mengerutkan kening saat memegangnya.

“Iya...”

“Beratnya berapa?”

“Mungkin satu atau dua kilogram,” jawab Aradhea. “Usaha saya lagi bangkrut, Dul. Ini dengan terpaksa saya lakukan untuk menutupi hutang dan menjalani proses hukum.”

“Hah,” Duljana menengok dengan wajah getir. “Mas Ade usaha di bidang apa sih?” tanyanya. Selama ini Duljana memang tidak pernah tahu.

“Perusahaan farmasi, Dul. Cuma kemarin ada masalah, sepertinya dikaitkan sama produk saya.”

“Ohh...,”

Duljana memang belum mengenali lebih jauh tentang kehidupan sang kakak, meskipun mereka kenal sudah cukup lama. Pada masa ini baru bisa dikatakan, jika Aradhea baru mulai terbuka dan menaruh kepercayaan padanya. Banyak alasan yang membuat Aradhea respek pada pemuda pengangguran itu. Salah satunya adalah ia amat paham, jika Duljana dalam hatinya sama sekali tidak silau, atau ingin mengambil kesempatan dari bongkahan emas yang ia perlihatkan. Duljana sangat tulus bergaul dengannya.

Lihat selengkapnya